dimensi membutakan mata memekakkan telinga
lalu diri menjadi hampa
saat paradigma dunia tak lagi digunakan untuk menerka
sadarku akan hadir-Mu
mematahkan sendi-sendi yang biasanya tegak berdiri
Pernah terbesit dalam lintasan pikiranku iri melihat orang-orang di sekitar, disayangi “someone”. Apalagi di bulan Februari. Di mana-mana nuansanya Valentine. Aku memang penganut “tiada pacaran sebelum akad”, tapi sebagai manusia kadang timbul juga perasaan ingin diperhatikan secara istimewa. Tidak pernah tahu rasanya candle light dinner. Pun tidak pernah menerima Toblerone ataupun Silverqueen dengan kata-kata romantis dari puisinya khalil Gibran. Tidak ada yang menawarkan jaketnya saat aku menggigil kedinginan... Atau berpegangan tangan sambil melihat hujan meteor.
Dari waktu ke waktu selalu kutemukan cerita dan kisah asmara antara dua sejoli yang tertusuk panah cinta. Dari kisah Adam-Hawa, Yusuf-Zulaika, Samson-Delilah, Romeo-Juliet, hingga sampai masanya Cinta dan Rangga, Fahri dan Aisyah serta Azzam dan Anna. Segala teori dan argumentasi yang dilontarkan akan lumpuh begitu saja saat kusendiri yang mengalami bagaimana hebatnya cinta itu mempengaruhi diri. Mungkin sulit dipahami bagi orang yang sedang tak mencinta, bagaimana rasa cinta itu menjelma menjadi ratusan ribu pulsa telepon, berlimpahnya waktu untuk menunggu yang terkasih walau sedang dalam deadline ketat, terbuka lebarnya mata mengerjakan tugas-tugas demi membantu yang tersayang, bahkan sampai sebuah Taj Mahal yang begitu megah. Bongkahan pengorbanan yang tak rela dipecahkan… (Ah... Romantisnya....)
Lalu aku pun tersadar, kata-kata cinta yang dirindukan itu sudah sering kudengar. Orang tuaku selalu mengucapkannya. Memanggilku dengan sapaan “sayang” betapapun aku telah menyusahkan dan sering menyakiti mereka. Mungkin mereka bahkan memanggilku seperti itu sejak aku belum dilahirkan. Padahal belum tentu aku yang akan melapangkan mereka ke surga…. Belum tentu aku bisa jadi kebanggaan mereka. :-(
Tatapan cinta itu juga sering kuterima. Dari ibu yang begadang menjagaku yang sedang demam, dari ayah yang sampai berhenti merokok agar bisa membeli makanan untukku, dari teman yang beriring-iring menjengukku ketika dirawat di rumah sakit, dari adik yang memelukku ketika bersedih, dari sepupu yang berbagi makanan padahal ia juga lapar. Duuuh, betapa seringnya aku nggak menyadari.
Aku selalu terpana dengan cinta. Membuat pikiran ini dengan susah payah membayangkan seorang Abu Bakar yang tiba-tiba berlari kesana kemari, kadang ke depan, ke samping, lantas tiba-tiba ke belakang Rasulullah. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Di belakang, orang-orang kafir Quraisy mengejar, bermaksud membunuh Muhammad SAW. Tentu saja Rasulullah terheran-heran. Beliau pun bertanya dan dijawab oleh Abu Bakar, bahwa ketika ia melihat musuh ada di belakang, maka Abu Bakar berlari ke belakang. Jika musuh di depan, Abu Bakar lari ke depan, dan seterusnya. Abu Bakar siap menjadi tameng buat Rasulullah. Agar jika ada musuh menyerang, ia lah yang lebih dulu menerimanya. (‘Berkas-berkas Cahaya Kenabian’, Ahmad Muhammad Assyaf).
Kasih dari ciptaan Allah lainnya juga melimpah. Matahari yang menyinari dengan hangat. Udara dengan tekanan yang pas. Sampai cinta dari hal yang selama ini mungkin tidak terpikirkan. Duh…. Begitu banyaknya aku berbuat dosa, Allah masih berbaik hati membiarkanku hidup, masih membiarkan aku ’tuk bersujud walau banyak nggak khusyuknya. Padahal kalau Ia mau, mungkin aku pantas-pantas saja langsung dilemparkan ke neraka Jahannam.
Coba... mana ada sih kebutuhanku, kamu dan kita semua yang tidak Allah penuhi. Makanan selalu ada. Kita berkesempatan menimba ilmu sampai ke tingkat tinggi. Anggota tubuh yang sempurna. Diberi kesehatan. Diberi kehidupan. Apalagi yang kurang? Tapi tetap saja kita berbuat maksiat, jarang sedekah, lupa ibadah, nyontek, banyak bikin dosa… hidup lagi... Ahh aku jadi malu...
Tentu ada ujian dan kerikil di sepanjang kehidupan ini. Tapi bukankah itu bagian dari kasih-Nya juga? Bagaimana kita bisa merasakan kenikmatan jika tidak pernah tahu rasanya kepedihan? Buat teman-temanku yang diuji Allah dengan cobaan, yakinlah bahwa itu cara Allah mencintaimu. Pasti ada hikmahnya. Pasti! Jadi, selama ini ternyata kita bukan kekurangan cinta. Bahkan kita tenggelam dalam lautan cinta yang begitu murni. Kita saja yang nggak pernah sadar.
Sekarang pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk membalas-Nya? Kalau aku, (malu nih..) sepertinya masih sering menyakiti orang lain. Sadar ataupun tidak sadar. Kalaupun tidak sampai menyakiti, rasanya masih sering tidak peduli dengan orang. Apalagi pada Allah, begitu besar cinta-Nya padaku dan aku masih sering menyalahgunakannya. Mata tidak digunakan semestinya, lisan kejam dan menyayat-nyayat, waktu yang terbuang sia-sia dan banyak lagi lainnya, kalo mau diketik semua nggak bakal cukup dech bulletin ini.
Kalau sudah seperti ini, rasa iri pada semua hal-hal yang berbau “pacaran” hilang sudah. Minimal, berkurang drastis laaah... Siapa bilang aku tidak dicintai? Memang tidak ada yang mengantar aku ke mana-mana, tapi Allah menjaga di setiap langkah. Tidak ada candle light dinner, tapi ada sebuah keluarga hangat yang menemani setiap makan malam. Tidak ada surat cinta, tapi bukankah Allah selalu memastikan kebutuhan kita terpenuhi? Bukankah itu juga cinta?
Sadar nggak sih Men...?. “cinta” yang digembor-gemborkan di TV lewat film, lagu, puisi bahkan menjadi “dewa” bagi kebanyakan youngster sekarang tuh “cinta negatif!”. That is… cinta yang dialirkan dari energi tak terkendali. Ini nich, cinta yang merusak. Terlahir dari syubhat dan syahwat. Ngakunya moderat, padahal kuno berat. Bagaimana nggak kuno, cinta yang lahir dari syahwat mulai ada sejak jaman baheula hingga kini telah membanjiri pasaran, menebar kemudharatan, kampungan! Remaja gelagapan dan tidak tahu jalan, akhirnya ikut-ikutan.
Padahal aku, kamu dan kita semua hidup di dunia ini khan cuma sebentar, paling banter juga 80-an tahun, itu juga dah nggak bisa dugem-dugeman lagi. Use your time wisely, Friend. Rasulullah pernah bersabda “Tiadalah perbandingan dunia ini dengan akhirat, kecuali seperti seorang yang memasukkan jarinya dalam lautan besar maka perhatikan berapa jumlah air yang menetes darinya” (HR Muslim).
Ingat Friends…. Cinta kepada Allah sebagai cinta yang hakiki, sedang cinta kepada selain Allah dilaksanakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Entah cinta yang “resmi” itu akan datang di dunia atau tidak. Tapi ingin rasanya aku membalas semua cinta yang Allah ridhoi. Tulisan ini bukan untuk curhat internasional lho. Yah, siapa tahu ada yang senasib denganku. Guys, kita coba sama-sama yuk! Jangan sampai ada cinta halal yang tak terbalas.
Bahan Buletin Baris 49 Edisi Februari 2010
disayangi “someone”....dan ingin diperhatikan secara istimewa....Subhanallah...
BalasHapusnamun bingung diri ini ketika itu semua sulit di harapkan...bagaimana menghadapi bingung ini..kawan...
Ya Allah engkaulah Yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu....Tunjukkanlah Saya Jalan-Mu Yang Lurus...Amin
kawin dunk...! hihi...
BalasHapusYa...itulah impianku saat ini .... menikah...
BalasHapusentah impianku akan kuabaikan nantinya..atau kulanjutkan...
gimana mau menikah kalau tak ada yang menganggapku sebagai orang yang teristimewa....
pernah mengistimewakan seseorang yang ku kagumi...namun tak ada jawaban .. hanya lambat laun pergi meninggalkan...
rasanya telah pudar percaya akan adanya cinta...
yang mengganggap semua itu indah...
yang dapat menemani saat diri ini tersesat dan berusaha tuk temukan jawaban bersama...
huh,...entah ini baik atau tidak...
aku mengeluhkan sesuatu...
yang tak mudah tuk di temukan secara pasti...
labih baik menghitung...atau menjabarkan rumus..
daripada harus melogikakan cinta...
ah,....makhluk apa seh itu Cinta....
cinta...
BalasHapusmenurutku cinta itu fitrah..
cinta dapat menjadi manfaat dan mudhorot tergantung dari si empunya cinta..
namun dapatkah kau beritahu aku, bagaimn mnjadikan cinta agar menjadi sebuah manfaat??
jzk
Satu mimpi satu misteri
BalasHapus