21 Mei 2025

Audit Syariah Tak Cukup Sekadar Label: Saatnya Menghidupkan Spirit Hisbah dan Maqashid al-syariah

Oleh: Farizal (Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI) Di tengah pesatnya pertumbuhan industri keuangan syariah global, kita dihadapkan pada satu kenyataan mendasar: banyak lembaga keuangan syariah (LKS) yang secara bentuk tampak Islami, tetapi secara substansi jauh dari nilai-nilai syariah yang hakiki. Kepatuhan syariah kerap dimaknai sebatas lolos dari unsur riba dan gharar, sementara aspek keadilan, kemaslahatan, dan etika sosial hanya menjadi jargon tanpa pengawasan nyata. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali idealisme audit syariah.

Audit syariah seharusnya tidak berhenti sebagai fungsi teknis, melainkan menjadi sarana transformasi institusional yang berakar dari nilai-nilai maqaṣhid al-syariah dan sejarah pengawasan sosial dalam Islam, yakni lembaga hisbah.


.
Hisbah: Jejak Historis Pengawasan Islami
Dalam sejarahnya, hisbah bukan sekadar lembaga moral, melainkan sistem audit sosial yang menjamin transaksi, distribusi barang, bahkan perilaku pasar berjalan sesuai prinsip keadilan dan kemaslahatan. Hisbah adalah institusi yang menjembatani antara nilai spiritual dan tata kelola publik. Ini adalah cikal bakal audit syariah, yang sayangnya kini tereduksi hanya pada level review internal. Seharusnya audit syariah mampu dan wajib menjawab pertanyaan besar: Apakah lembaga ini telah memberikan kemaslahatan bagi masyarakat? Apakah kebijakan SDM-nya adil? Apakah zakat disalurkan sesuai syariat? Apakah lingkungan dipelihara? Dan pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya.
Konsep maqaṣhid al-syariah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Ashur dan Umar Chapra, menuntut agar audit syariah mencakup dimensi material dan spiritual. Lembaga seperti AAOIFI dan IFSB memang telah menyusun kerangka tata kelola governansi (good corporate governance) tetapi kenyataannya, banyak area penting seperti manajemen risiko belum dijangkau audit syariah secara optimal. Dari Penelitian yang ada mengungkapkan adanya kesenjangan besar antara teori audit syariah dan praktiknya. Dewan Pengawas Syariah (DPS) seringkali tidak independen, karena memainkan dua peran sekaligus: sebagai penasehat syariah dan pelaksana review. Ini bertentangan dengan prinsip objektivitas.
Di sini lain dan ini menjadi ironis adalah, auditor eksternal yang memiliki independensi justru kerap tidak memiliki kompetensi fikih muamalah dan ekonomi Islam yang mumpuni. Dalam praktiknya, banyak bank syariah tidak menerapkan metode audit syariah yang benar, dan auditornya tidak memiliki kualifikasi syariah yang layak.
Solusi: Perkuat DPS, Lahirkan Auditor Syariah Independen
Untuk mengatasi krisis legitimasi ini, sudah seharusnya peran dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dimaksimalkan secara struktural dan profesional. DPS tidak boleh hanya menjadi simbol atau formalitas dalam struktur LKS. Mereka harus memiliki sertifikasi profesional, seperti semacam CSAA (Certified Shari’ah Adviser and Auditor) dari AAOIFI. Mereka juga harus bekerja secara independen, tidak tunduk pada manajemen, dan wajib bertanggung jawab langsung pada otoritas pengawas keuangan syariah nasional. Selain itu, DPS juga harus menjalankan audit filosofis, tidak hanya teknis. Mereka harus menilai integritas dan etika lembaga, bukan sekadar kehalalan produk.
Di sisi lain, negara dan otoritas keuangan syariah harus mulai membentuk badan audit syariah independen nasional—sejenis “hisbah modern”—yang bertugas mengawasi seluruh LKS secara eksternal, transparan, dan berbasis maqāṣid. Ini bukan pilihan, tapi keharusan jika kita ingin menyelamatkan integritas ekonomi Islam dari kooptasi kapitalisme semu berbungkus syariah.
Penutup: Audit Syariah adalah Amanah Umat
Audit syariah bukan sekadar kegiatan administratif. Ia adalah manifestasi dari amanah yang besar yaitu menjaga integritas lembaga keuangan agar benar-benar berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sudah saatnya kita hentikan praktik audit syariah yang sempit, teknokratis, dan formalistik. Mari kita hidupkan kembali semangat hisbah, menjadikan maqāṣid al-syarī‘ah sebagai ruh pengawasan, dan menegaskan bahwa ekonomi Islam bukan hanya soal produk, tetapi juga soal nilai dan keberpihakan pada keadilan social dan ummat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?