18 November 2025

Mendesak, Indonesia Perlu Mereformasi Tata Kelola Syariah untuk Menjamin Integritas dan Keberlanjutan Industri Keuangan Islam.


oleh Farizal, SEI
Mahasiswa Pascasarjana Institut SEBI
Perkembangan industri keuangan syariah Indonesia menunjukkan kemajuan yang stabil dalam hal ekspansi lembaga, peningkatan aset, dan semakin besarnya minat publik untuk beralih pada produk yang lebih etis. Namun apabila dibandingkan dengan Malaysia—negara yang memiliki kerangka tata kelola syariah paling terstruktur dan diakui secara internasional—Indonesia masih menghadapi tantangan fundamental yang tidak bisa diabaikan. Artikel berjudul Hisbah in the Context of Shariah Governance in Islamic Finance: A Comparison Between Indonesia and Malaysia yang ditulis Ilza Febrina dan Budiman Abdullah menjadi dasar opini ini menegaskan bahwa perbedaan terbesar terletak pada struktur tata kelola syariah yang masih bersifat desentralisasi, sehingga menimbulkan variasi implementasi syariah antar lembaga dan menciptakan ruang ketidakkonsistenan yang cukup signifikan.
Di Indonesia, pengawasan syariah bergantung pada sinergi antara DSN-MUI, DPS di setiap lembaga, dan regulator umum seperti OJK. Kerangka ini di atas kertas tampak ideal karena memberikan ruang fleksibilitas, namun pada praktiknya justru membuka potensi ketidakteraturan. Misalnya, DPS di Indonesia hanya diwajibkan berjumlah minimal dua orang dan diizinkan merangkap jabatan hingga empat lembaga keuangan yang bergerak dalam sektor sejenis. Selain itu, audit syariah masih bersifat internal dan tidak selalu memiliki mekanisme pelaporan yang seragam kepada regulator. Akibatnya, implementasi fatwa DSN-MUI kerap berbeda antara satu lembaga dan lembaga lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan produk keuangan syariah yang sama dapat diimplementasikan dengan metode yang berbeda, sehingga membuka ruang arbitrase syariah dan menurunkan kepastian hukum bagi konsumen.
Sebaliknya, Malaysia telah membangun sistem tata kelola yang terpusat melalui Shariah Advisory Council (SAC) di bawah Bank Negara Malaysia. Setiap keputusan SAC bersifat final dan mengikat bagi seluruh lembaga keuangan Islam, sehingga tidak ada ruang perbedaan interpretasi antar institusi. Standardisasi yang ketat ini menciptakan stabilitas regulasi, memperkecil risiko ketidakpatuhan syariah, dan mendorong inovasi produk secara lebih terarah. Anggota Shariah Committee di Malaysia diwajibkan memiliki latar belakang pendidikan syariah yang kuat, menguasai bahasa Arab dan Inggris, serta tidak diperkenankan merangkap jabatan di sektor yang sama. Hal ini meningkatkan kualitas independensi dan profesionalisme pengawasan syariah di Malaysia.
Kelemahan pada aspek audit syariah di Indonesia juga tampak jelas. Malaysia secara tegas mengatur kewajiban audit syariah tahunan yang pelaksanaannya dievaluasi langsung oleh Bank Negara Malaysia. Laporan audit tersebut menjadi bagian dari dokumen publik dalam laporan tahunan lembaga keuangan. Di Indonesia, audit syariah masih menjadi domain internal DPS tanpa supervisi eksternal yang kuat. Ketika audit syariah tidak terstandardisasi dan tidak bersifat publik, risiko ketidakpatuhan syariah menjadi lebih sulit dipetakan, sementara konsumen tidak memiliki akses memadai untuk menilai integritas syariah suatu lembaga.
Artikel tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya lebih ketat dalam memilih kontrak atau model akad untuk memastikan kesesuaiannya dengan fiqh muamalah. Pendekatan kehati-hatian ini baik dari sisi integritas syariah, namun membawa konsekuensi berupa lambatnya inovasi produk keuangan syariah. Pada saat Malaysia meluncurkan berbagai inovasi yang agresif, meskipun sebagian menuai kritik, Indonesia cenderung berhati-hati ke titik stagnan. Keterlambatan inovasi ini menyebabkan industri keuangan syariah Indonesia tertinggal dalam kompetisi regional, terlebih dalam menghadapi perkembangan teknologi finansial dan digitalisasi ekonomi yang berkembang pesat.
Indonesia sebenarnya memiliki modal struktural yang signifikan. Keberadaan peradilan agama yang menjadi yurisdiksi resmi sengketa perbankan syariah merupakan keunggulan yang tidak dimiliki seluruh negara. Namun keunggulan tersebut tidak sepenuhnya termanfaatkan karena implementasi kepatuhan syariah antar lembaga masih belum seragam. Ketidakteraturan implementasi pada level industri dapat memunculkan beban perkara yang lebih besar bagi peradilan agama dan berpotensi menciptakan ketidakstabilan preseden hukum.
Dalam konteks lebih luas, artikel ini memberikan sinyal kuat bahwa Indonesia sedang bergerak menuju model yang lebih terpusat, namun pergerakan tersebut masih bersifat bertahap dan perlu percepatan. Reformasi struktural harus diarahkan untuk memperkuat kewenangan DSN-MUI agar keputusan syariah bersifat mengikat, memperbaiki tata kelola DPS agar lebih independen dan profesional, dan membangun sistem audit syariah eksternal yang terstandardisasi secara nasional. Selain itu, pengembangan SDM syariah perlu diperkuat melalui peningkatan kapasitas fiqh kontemporer, riset ekonomi syariah, hingga kemampuan memahami instrumen keuangan modern agar inovasi tidak berhenti pada akad-akad klasik.
Pada akhirnya, masa depan industri keuangan syariah Indonesia sangat ditentukan oleh keberanian mereformasi tata kelola syariahnya. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat keuangan syariah global, namun potensi tersebut tidak akan terwujud jika tata kelola syariahnya tidak kokoh, tidak terstandardisasi, dan tidak responsif terhadap perubahan zaman. Keuangan syariah bukan sekadar pilihan bisnis, tetapi amanah moral dan sosial. Amanah ini hanya dapat ditegakkan melalui sistem pengawasan yang kuat, transparan, dan terintegrasi dengan prinsip maqasid al-syariah. Reformasi tata kelola syariah bukan lagi sekadar opsi, tetapi keharusan strategis bagi masa depan industri keuangan Islam di Indonesia.