30 September 2009

Kisah Tukang Sapu di Sebuah Kampus

Salah satu adegan teater yang biasa kami perankan
sekedar untuk otokritik kita kepada kita dan untuk kita

Teater Senyum


nb: Skenario oleh Rahmat HM (Ketua FLP Wilayah Jakarta)





Kisah Tukang Sapu di Sebuah Kampus


Muncul hingar bingar sekelompok mahasiswa berdemo sambil orasi memekakan telinga. Disebar kertas-kertas pamlet berisi tulisan-tulisan. Kertas-kertas pamlet itu menyebar kemana-mana. Jatuh berserakan di lantai. Hening

SRREEKK! SRREEKK! SRREEKK!


Terdengar suara orang sedang menyapu. Munculah seorang tukang sapu dengan pakaian dinasnya.

Bullshit! Demonstrasi bullshit! Mahasiswa bullshit! Tai kucing!

Ia menyapu dengan kasar dan kesal. Disapunya kertas-kertas pamlet dengan sembarangan. Suara sapu beradu dengan lantai makin terdengar.

Sampah! Sampah! Sampah! Setiap hari ada sampah! Hari ini mahasiswa yang bikin sampah. Kemarin dosen yang bikin sampah. Kemarinnya lagi politikus. Besok mungkin kamu, kalian, mereka, dia yang bikin sampah. Lama-lama negeri ini jadi tong sampah. Bullshit! Bullshit!

Kesal. Melemparkan sapu. Tolak pinggang.

Kenapa sich pada suka banget bikin sampah? Aku yang capek. Kalian seenaknya byar-byer buang sampah. Setiap hari aku yang membersihkan sampah-sampah kalian. Bayangkan kalau aku membiarkan sampah-sampah itu menumpuk. Apa kalian masih bisa makan dengan enak? Apa kalian masih bisa belajar dan bekerja dengan tenang? Apa kalian masih bisa duduk berdua dengan kekasih kalian sambil menikmati danau yang indah? Bullshit kalian semua! Mahasiswa macam apa kalian?

Mengambil sapu yang tadi dilempar. Sapu dielus-elus dan ditimang-timang seperti bayi.

(Bicara kepada sapu) Maafkan aku ya. Kamu nggak salah, sayang. Mereka yang salah.

Duduk.

Aku memang hanya tukang sapu di sini. Tugasku adalah membersihkan tempat ini dari sampah-sampah. Tapi hargailah aku sedikit. Gajiku kecil. Tapi sepertinya kalian tidak punya kepekaan ya? Hah... bullshit kalian semua.
Ya... bull-shit! Mahasiswa sekarang bullshit! Kalian kan siswa yang sudah menjadi maha. Siswa artinya orang terpelajar. Dan maha artinya lebih. Jadi harusnya kalian lebih terpelajar. Lebih intelek. Lebih peka. Lebih perduli. Bertambahnya mahasiswa harusnya bertambah pula solusi untuk negeri ini. Bukan malah jadi menambah masalah. Tapi mahasiswa sekarang lebih banyak yang jadi masalah ketimbang memberikan solusi bermanfaat untuk negeri ini, untuk rakyat di negeri ini.
Lihat saja, ada mahasiswa-mahasiswa yang tawuran. Tawuran sesama mahasiswa. Goblok! Kaum intelek yang guoblok! Lihat saja, mahasiswa yang jadi pengedar narkotik. Harusnya kan kalian mencerdaskan rakyat dengan ilmu kalian. Bukan menebar racun. Lulus dari kampus, kalian malah bengong jadi pengangguran. Akhirnya, mahasiswa nganggur jadi kriminil, jadi pelacur, jadi germo, jadi tukang tipu, jadi penjilat.
Harusnya mahasiswa memfungsikan peranya sebagai mahasiswa. Agent of change. Ya, agen of change! Agen-agen perubahan. Mahasiswa harus membawa perubahan.

Berdiri di atas kursi.

Mahasiswa harus berdiri dan maju ke depan. Teriak dengan lantang. Tegap dan gagah penuh percaya diri. Katakan hitam jika memang hitam! Katakan putih jika memang putih! Mahasiswa harus menjewer penguasa yang seenaknya bikin rakyat sengsara. Teriak dengan lantang. Tegap dan gagah penuh percaya diri. Itulah mahasiswa.
Tapi jangan lupa! Habis demo, bersihkan dong sampah-sampahnya. Jangan bikin repot saya! Kalau ada snack lebih, kasih saya dong!

Turun dari kursi.

Dan jangan lupa! Kalian jangan tertipu setelah duduk di atas kursi empuk. Kursi ini untuk duduk pantat kalian. Jangan sampai...

Mengangkat kursi di atas pundak, menutupi kepala.
Jangan sampai.... kursi ini diletakan di atas kepala.

Menari-nari sambil mengangkat kursi.
Jangan kalian menghamba pada kursi. Kemudian menari-nari diatas penderitaan rakyat.

Menari dan bernyanyi
Waktu kau bayi. Kau tidak punya nama. Sekarang sudah besar. Kamu sudah punya nama. Kau besarkan bajumu. Kau besarkan namu. Kau lupakan orang-orang kecil yang membuatmu namamu besar. Eh... eh... bajumu terlalu besar. Eh... eh... kursimu terlalu berat.

Melemparkan kursi
Begitulah... mahasiswa juga kan manusia. Dulu dia berteriak-teriak lantang berjuang bersama rakyat. Sekarang dia mengemis-ngemis kepada pejabat.

Murung. Merindukan sesuatu.
Aku jadi teringat anakku. Sebenarnya dia bukan anakku. Aku menemukannya di tong sampah. Aku iba kepadanya hingga kubesarkan dia. Dia pun tumbuh menjadi anak yang pintar dan jujur. Karena kepintarannya dia bisa kuliah di Universitas Indonesia, nggak bayar. Dapet beasiswa.
Dulu di kampus UI rakyat miskin pun bisa kuliah di sana. Asalkan pintar. Makanya mahasiswa-mahasiswa UI bisa menjadi mahasiswa-mhaasiswa pintar yang kritis dan ditakuti penguasa. Selalu menjadi penggerak perjuangan rakyat kecil. Dulu... itu dulu. Kalau sekarang, jangan harap bisa masuk UI kalau tidak punya uang. Jadi, mahasiswa-mahasiswanya katro semua. Blo’on-blo’on. Senang-senang melulu.
Berbeda dengan anakku dulu. Dia tidak hanya pintar secara akademis. Tapi juga punya kepekaan dan keperdulian tinggi kepada rakyat kecl. Dia selalu menggerakan teman-temannya untuk berjuang bersama rakyat.
Aku pernah bertanya kepada anakku, kenapa dia begitu perduli kepada nasib rakyat kecil. Tahukan kalian apa jawabannya? Katanya, memang sudah begitu seharusnya, Pak. Itulah salah satu peran mahasiswa. Mahasiswa harus punya peran moral, peran sosial, peran akademik dan juga peran politik.
Peran moral artinya mahasiswa harus jadi contoh moral yang baik bagi masyarakat. Mahasiswa yang tawuran, mahasiswa yang mabuk, mahasiswa yang melacur adalah contoh moral buruk. Peran sosial berarti kita hrus perduli. Kita harus memberikan solusi bagi rakyat yang sedang menderita.
Aku bangga sekali dengan anakku. Tidak rugi aku banting tulang membesarkannya. Dia melanjutkan ceramahnya.

Berikutnya, adalah peran akademik. Nah, meskipun kita sibuk bergrganisasi dan bergerak mempperjuangkan rakyat kecil tapi kita juga harus tetap menjaga prestasi akademik kita. Prestasi belajar kita, Pak.
Hihihi... aku hanya ber ‘O’ saja, pura-pura ngerti ucapannya. Dan terakhir adalah peran politik. Ini juga penting untuk mahasiswa. Mahasiswa harus tahu perubahan apa saja yang sedang terjadi pada negeri ini. Kalau ada penguasa yang nakal, kita harus berani menjewer mereka.
Aku makin bangga. Aku makin sayang anakku. Hidup mahasiswa! Anakku menjawab, hidup rakyat, Pak!
Lihatlah anakku! Dia begitu bangga memakai jas almamater kampusnya. Kami sebagai rakyat biasa juga bangga, nak. Mahasiswa dulu memang pantas dibanggakan.

Termenung sedih
Hingga suatu ketika... terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Terjadi demontrasi besar-besaran. Para mahasiswa dan rakyat bersatu untuk menggulingkan penguasa dzalim. Anakku menjadi salah satu korlap demontrasi tersebut. Demontrasi itu berujung rusuh. Aparat menembaki para demonstran. Tak pandang bulu apakah itu mahasiswa atau rakyat kecil. Semua diusir dan dihujani peluru-peluru tajam. Banyak yang terluka. Banyak yang mati. Lalu anakku... bagaimana dengan nasib anakku...?

Aku pun berlari mencari-cari dia. Darah berceceran. Beberapa tubuh terkapar di jalanan. Ada yang sudah tak lagi bergerak, bersimbah darah. Ada yang masih merintih-rintih kesakitan. Hingga aku menemukan sosok tubuh anakku. Tertelungkup mencium bumi.
Anakku... aku langsung membalik tubuhnya dan menidurkannya dipangkuanku. Darah segar mengalir dari kepalanya. Tangan kanannya meremas-remas dada sebelah kirinya.
Aku ditembak... bapak... aku ditembak, katanya.
Sungguh aku ingin membopongnya. Tapi aku tidak kuat.
Bapak... katakan siapa ibuku? Dimana dia? Anakku masih sempat menanyakan siapa ibunya sebelum akhirnya ia tak lagi bernafas.
Aku tidak pernah menceritakan ia kudapat dari mana. Dari tong sampah. Dia tidak pernah tahu siapa ibunya.
Ibumu, nak... ibumu adalah ibu pertiwi... kau akan segera bertemu dengannya.

Menyanyikan lagu Ibu Pertiwi

Ibumu pasti bangga padamu, nak. Ibu pertiwi sedang sedih. Ibu pertiwi berlinang airmata. Dia sedih karena tak lagi bisa melahirkan anak-anak yang bisa dibanggakan. Anak-anak ibu pertiwi kebanyakan hanya bisa bikin malu. Ibu pertiwi tak lagi bisa melahirkan pahlawan-pahlawan. Anak-anaknya tumbuh menjadi penjajah di negeri sendiri.

Berdiri tegap
Akankah terlahir kembali anak-anak pahlawan dari rahimmu, ibu pertiwi?

Naik ke atas kursi.
Hei! Lihat! Ada demonstrasi lagi! Haduuuh! Pasti akan ada sampah lagi!

Mengambil sapu
Ayo sekarang kita lakukan tugas kita. Membersihkan sampah-sampah. Demikian saja penampilan saya. Terimakasih.

Melangkah pergi. Tiga langkah kemudian kembali.
Hei! Ngomong-ngomong, kalian mahasiswa tidak malu diceramahi tukang sapu?!

SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?