15 Februari 2010

Belajar Kesederhanaan dari Mus’ab Bin Umair

Jasadnya terbaring berlumur darah terkubur di tanah Uhud. Kakinya ditutupi rumput-rumput harum, sebagian badannya hanya ditutupi selembar kain yang tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Jika kain itu ditarik ke atas untuk menutupi kepalanya, maka kakinya akan terlihat, juga sebaliknya jika kakinya yang ditutupi, maka kepalanya akan menyembul keluar. Ia yang dulunya adalah anak kesayangan sang ibunda, diberi pakaian paling mahal. Harum parfumnya yang khas menyebar ketika dia berjalan, bahkan sebelum ia menampakkan diri, wanginya sudah bisa tercium dalam radius puluhan meter. Ia yang dulunya menjadi pembicaraan wanita-wanita muda di Makkah, menjadi idola dan diidolakan pemuda pemudi di kota itu. Ia seorang pemuda paling flamboyan di kalangan kaum muda Quraish. Ia meninggalkan semua hal keduniaan itu untuk pergi memenuhi panggilan Allah dan mencari ridhaNya. Ia, Mus’ab bin Umair bin Hashim bin Abd Munaf atau yang dikenal sebagai Mus’ab al Khair.


Ia yang saat itu masih muda mendengar tentang munculnya seorang nabi terpilih di kalangan kaum Quraisy. Seorang nabi yang membaca ajaran tauhid. Didorong oleh rasa keingintahuannya yang besar, ia pun pergi menemuhi Nabi SAW untuk mendengar sendiri ajaran yang dibawa oleh sang Rasul tersebut. Suatu malam, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Al-Arqaam Ibn Al-Arqam - yang kemudian dikenal dengan Daar al Arqaam di kalangan muslim-, meninggalkan teman-temannya yang sedang berkumpul. Disinilah ia bertemu dengan Sang Baginda Nabi dan sahabat lainnya. Disinilah ia mendengar Sang Baginda Nabi bercerita tentang masa depan Islam, mendengar lantunan surat cinta-Nya dan sholat di belakang Sang Rasul SAW. Ketika itulah, ia lupa akan kesenangan hidup di dunia, menemukan kunci kebahagiaan abadi.

Sejarah mencatat, Perjalanannya dalam memeluk Islam tidaklah mudah. Sang Ibunda Khunnas bint Maalik adalah ’musuh’ utama akan keyakinan barunya ini. Untuk menghindari pertengkaran, maka ia mula-mula tidak memberi tahu ibunya bahwa dia telah memeluk Islam. Akan tetapi, berita bahwa ia sering datang mengunjungi Daar Al-Arqam akhirnya sampai ke telinga Sang Ibunda. Ibunya yang terkenal sebagai seorang penyembah berhala yang kukuh memerintahnya untuk kembali ke agama berhala dan bertaubat, meninggalkan Islam. Ia imenolak dan akhirnya dikunci di salah satu sudut rumahnya.

Rindu akan bertemu dengan Sang Nabi dan para sahabat membuatnya melarikan diri dari ’penjara’ sang ibunda dan para penjaganya. Ia pun bergabung dengan muslimin kemudian hijrah ke Abyssinia. Tak lama berselang, Ia pulang ke Makkah untuk hirah kedua kalinya bersama Rasulullah SAW ke Yastrib.

Mengetahui berita tersebut, Ibunya berusaha memenjarakanya kembali. Namun ia bersumpah akan membunuh siapa yang akan berusaha menangkap dan mempenjarakannya. Tahu akan keras dan teguhnya pendirian anaknya, Ibunya berikrar bahwa Mus'ab tidak diakui lagi menjadi anaknya.

Tiada lagi kemewahan pada dirinya, bajunya sederhana, makanan seadanya, dan tanah adalah tempat tidurnya. Seorang anak muda yang dulunya anak kesayangan sang ibu, dapat meminta apa saja keinginannya. Pakaian mewahnya dulu kini telah berganti dengan pakaian sederhana yang penuh tambalan, yang hampir saja tak mencukupi badannya.

Hingga Sang Baginda Nabi berkata, ”Aku lihat Mus'ab, dan sungguh tidak ada anak muda di Makkah yang lebih berpunya daripada ia. Tetapi semua kemewahan itu dia tinggalkan demi cintanya kepada Allah dan nabi-Nya.”

------------------------------------------ ()()() ------------------------------------------

Begitulah sketsa hidup dari seorang Mus’ab bin Umair. Ia mampu untuk melawan ujian kenikmatan dunia dan berharap akan sebuah kenikmatan abadi di akhirat. Bahkan seorang Abdur Rahmaan bin Auf pun sempat menangis ketika mengingat kesederhanaan Mus’ab bin Umair.  Ia menangis mengingat Mus'ab yang sudah meninggal tanpa dapat merasakan nikmat dunia, melainkan mendapatkan kenikmatan abadi di Alam Baqa. Ia menangis karena takut tidak mendapat bagiannya di hari akhirat karena telah mendapat banyak nikmat dan kemudahan di dunia ini.

Namun, kesederhanaan itu seakan semakin langka di zaman ini. Melihat hiruk pikuk dunia, berlatar belakang kota besar, lampu-lampu yang berkelap-kelip, mobil yang sibuk lalu-lalang di jalanan. Kaum muda yang seakan tak akan pernah mati selalu berhias dengan gemerlapnya aktifitas malam. Dengan memakai sepatu bermerk, baju-baju buatan designer terkenal, dan tak lupa mengapit handphone model terbaru, ditambah dengan jam tangan trendy yang wah. Bau parfum pun menyerbak dari mereka, parfum yang berbau uang.

Mereka tampak sibuk bergerombol menikmati malam, lalu-lalang untuk shopping, atau hanya sekedar ngeceng di mall, berusaha untuk membunuh kebosanan dengan melewati waktu dengan sia-sia. Mereka duduk dengan tenang di kafe-kafe, sekedar minum, melihat-lihat orang yang lalu-lalang, tertawa, sambil sesekali melihat layar tv besar yang menampilkan pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung atau tayangan pameran busana di catwalk-catwalk luar negeri. Ada juga beberapa dari mereka sedang melaju kencang dengan mobilnya, sekedar menaikkan adrenalin, stereo diputar maksimal, mengejutkan orang-orang yang mengemudi di samping, sambil terus tertawa.

Teramat kontras, jauh dari keteladanan dan kesederhanaan. kembali teringat kisah para sahabat Muhajirin dan Anshar atau jenak sketsa syuhada yang terbaring di tanah Uhud. Merekalah orang-orang yang mencari ridha Allah, dan diridhai Allah. Mereka telah mendapatkan kenikmatan dan kesenangan abadi. Di tengah-tengah hiruk-pikuk pengunjung mall, dimana tak terhitung mereka berusaha mencari kesenangan dunia dengan cara masing-masing. Sungguh kita orang-orang yang beruntung, jika kita dapat mengingat kehidupan Mus'ab bin Umair RA. Mengingatkan kita agar tidak larut dalam kehidupan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?