23 Februari 2010

Menjadi hamba-Nya yang Wajar

Tidak lain dan tidak bukan disadari atau tidak, kita sedang menunggu, menunggu kematian. Tinggal kita pilih, seni kematian seperti apa yang kita inginkan, agar setelah kematian nanti kita mampu hidup kembali. Ya.. hidup dengan kehidupan yang kekal, entah kekal di neraka dengan siksa-siksa-Nya, atau kekal di syurga ditemani bidadari-bidadari bermata jeli.

Wafat, nikah, bencana, rezki, dll hanyalah misteri dari Allah yang setiap kita diminta untuk mengimaninya. Dan dengan itu, kita mampu memaknai kehidupan ini dengan menjadi hamba-Nya yang sesuai dengan kewajaran seorang hamba. Hamba layaknya melati yang dengan putihnya, ia senantiasa bertasbih bersama wewangian yang terpancarkan. Layaknya barisan semut yang selalu dalam ketaatan beribadah sesuai dengan ilham yang ada padanya tanpa ada niatan sedikitpun untuk mencoba bermaksiat.

Dan kita manusia, pun diperintahkan demikian.. diminta menjadi hamba-Nya sesuai dengan kewajarannya, sesuai dengan kapasitasnya. Akan tetapi, entah mengapa... banyak dari kita banyak melanggar kewajaran tersebut, bahkan secara terang-terangan.. Apakah memang melanggar dari sebuah kewajaran seorang hamba masuk dalam kategori 'kefitrahan' manusia itu sendiri? Semoga saja tidak, karena memang yang disebut kefitrahan itu adalah menjadi hamba-Nya yang wajar. Wajar dalam perspektif Rabbaniyah, bukan dalam perspektif nafsu manusia. Karena manusia memang tercipta sesuai dengan spesifikasi yang sudah diperhitungkan agar sesuai kewajaran. Hingga jika ada manusia-manusia yang diluar kewajaran sebagai seorang hamba, bisa disebut sebagai manusia yang tidak wajar. Semoga kita termasuk manusia yang wajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?