22 April 2010

Sketsa Bujangan

Persoalannya simple sebenarnya. Aku mencintainya tapi aku tidak punya uang untuk menikahinya. Dan jadi ruwet krn trnyta si dia telah mengunci hatiku. Tiap kali aku berusaha melepaskan belenggu hati ini, maka kali itu juga hatiku makin tercekik. Menderita? Ya aku menderita... tapi ini derita yang aneh. Derita yang tak mmbuatku kapok untuk kembali menikmatinya. Menikmati derita. Derita... bukankah aku dan derita telah menjadi sahabat? Mungkin ini derita yang beda. Derita cinta. Ya... derita cinta. Derita tapi nikmat. Nikmat tapi derita. Menjadi derita karena aku tak mampu menikahinya. Memilikinya...
Ah, melankolis. Ah, cengeng. Lebay.... Lebay lu, kata seseorang.


Lalu harus dengan apa dan bagaimana aku mengisahkan ini? Mengekpresikan ini? Memendamnya?! Menangis?! Siapapun akan berlebay ria bila merasakan cinta. Apalagi ketika cinta itu menjadi derita. Menjadi kenikmatan pun bisa saja menjadi lebay, kan?

Dan aku melihat seorang lelaki di hadapanku. Sedari tadi kulihat dia hanya diam saja. Diam sambil melihatku. Aku ingin bicara dengannya.

“Hai kau yang ada di hadapanku! Mengapa diam? Apakah kamu mendengarkanku?”

Meski kubentak pun manusia di depanku itu tetap membisu. Siapa dia? Siapa...? Aku tidak mengenalnya. Dia jelek sekali. Ya, jelek sekali. Wajahnya menyiratkan ketololan. Matanya seperti pengemis yang menghiba kasih sayang. Lalu kenapa juga aku bertanya kepada si jelek dan si tolol ini?

“Kamu manusia bukan sih?”

Mengangguk pun tidak. Eh, tatapan tololnya menjadi-jadi. Lalu kenapa aku masih bertanya padanya. Ah, mungkin aku juga yang tolol. Kenapa harus bertanya kepda si tolol ini.

“Tolong jawablah!” aku lirihkan sedikit intonasi bicaraku. Ya mungkin dengan melirihkan suaraku dia akan lebih mudah bicara.

“Kenapa cinta datang di saat yang tidak tepat? Saat semuanya belum siap untuk saling memiliki? Aku tidak bisa menikahinya. Aku tidak punya uang. Dan dia sendiri masih...”

Hah! Lama-lama bete aku menghadapi si jelek ini. Diam dan hanya diam. Mungkin dia bisu. Mungkin dia tuli. Mungkin diamnya adalah jawaban.

“Pernahkah kau....?” aku ragu untuk melanjutkan pertanyaan ini.

Mungkin manusia di hdapanku ini tidak pernah merasakan cinta yang aneh seperti yang kurasakan saat ini. Tebakanku dia terlalu sering bermain-main dengan cinta. Tidak pernah serius. Tidak pernah merasakan cinta yang serius. Lihat saja wajahnya yang suram itu. Nampak bekas-bekas dosa-dosa hina. Kau juga akan sebal kalau melihatnya. Dia pasti manusia yang tidak jelas hidupnya. Dia pasti tidak pernah punya arah tujuan hidup.

“Hei lelaki jelek! Terserah padamu mau bicara atau tidak. Tapi aku tahu kau pasti mendengarku. Aku mau bercerita tentang seorang wanita. Satu-satunya wanita yang bisa mengunci hatiku.”

Eeeeeh.... dia tersenyum. Matanya tapak berbinar. Aha! Aku tahu sekarang. Dia pasti juga sedang membayangkan seorang wanita yang pernah singgah di hatinya. Ah, mana mungkin lelaki jelek dan tolol macam dia disukai wanita. Kantongnya saja kering kerontang. Ih, dia klimis banget. Klimis... keliatan miskin. Hahaha... aku tertawa. Dan lelaki dihadapanku ikut tertawa juga. Tertawa nyinyir. Tersenyum getir. Kasian amat sih lu!. Ya.... setidaknya aku jadi tahu kalau dia memang bisa mendengarku.
Biar saja aku bicara dengan manusia bisu yang tolol ini. Aku akan menceritakan wanita pujaan hatiku itu padanya. Seorang wanita yang...

“Wanita itu... dia mampu membuatku tersenyum. Dia lucu. Cantik? Nggak juga. Dia nggak cantik-cantik amat. Dia mempesona. Jika mendengarnya bicara maka cerialah duniaku. Mengalirlah inspirasiku. Jika bertemu dengannya, maka jiwaku ini jadi tenang. Luluh lantah segala syahwat hewani. Ah, yang pasti aku mencintainya. Benar-benar cinta. Cinta yang benar-benar.”

Hah! Kau murung. Kau murung lelaki jelek. Apa yang kau pikirkan? Teringat wanitamu ya? Hah! Murungmu itu membuatku sedih. Sedih bukan karena murungmu. Tapi sedih karena aku teringat wanitaku. Sedih karena aku tidak jadi orang kaya yang bisa dengan mudah menikahinya, memiliknya... membuatnya bahagia....

“Hei jelek! Jangan murung begitu! Aku eneg melihat tampang tololmu!”

Kurang ajar! Kali ini sepasang indera penglihatnya tampak mendung. Cengeng!

“Cengeng kau! Tatap mataku tolol! Aku sedang sedih! Kau jangan ikutan sedih dong!”

Dan kubentak dia. Ku caci maki dia. Tapi dia makin memamerkan tampang pengemis yang menghiba belas kasih sayang. Mengemis cinta yang tak mungkin di dapat kecuali cinta recehan. Namanya juga pengemis, dikasih juga paling-paling recehan.

Aku pun naik pitam.

“Sadarlah! Sadar! Hidupmu bukan hanya untuk menangisi cinta yang tak bisa kau miliki! Kau punya tugas mulia lainnya! Sadarlah tolol!”

GUMPRRRAAANGNGNG!!!!

Cermin di depanku pecah. Aku baru saja memukul lelaki tolol itu. Lelaki di dalam cermin itu. Dan aku masih mengenggam tinju. Pecahan cermin itu merobek beberapa bagian kulit kepalan tinjuku. Di jari-jari tangan kananku mengalir butiran merah. Aku meringis dengan nafas turun naik.

Dan aku berusaha untuk sadar. Sadar bahwa cinta butuh modal. Sadar bahwa tolol jika aku hanya memaki lelaki jelek di dalam cermin. Dan sadar kalau aku tidak bisa melupakan pujaan hatiku. Dan suatu saat... aku pasti akan datang padamu, tentunya dengan modal. Bukan hanya dengan rayuan gombal. Semoga....

By: Mamat Metal
comment: tenang Mat... kalo udah jodoh gak kemana..

3 komentar:

  1. yomayari27.4.10

    hahahaha...

    hufh...sampe disimpen di sini nih tulisan.ckck

    BalasHapus
  2. Anonim30.4.10

    sedih amat ceritanya, hicks..
    mamat metal (mellow total, hehe.. :p)

    BalasHapus
  3. Bro, ada kesamaan dengan kisahku (nyata)...

    BTW, kisahku lebih emosional dan menyedihkan... Doain aku kan sharing nanti. Hati n batinku blm siap menerima kenyataan hidup ini

    HMS

    BalasHapus

Ada yang mau berpendapat?