21 Maret 2011

Surat dari Lampung (2)

Perjalanan ini memang terasa panjang, dan masih akan panjang. Kita boleh singgah sejenak untuk sekedar berteduh, istirahat atau sesekali melihat pemandangan yang indah. Namun janganlah terlena dengan kenyamanannya, janganlah terpesona oleh keindahannya, hingga kita memutuskan untuk tinggal di tempat singgah kita. Karena tempat kita bukanlah di situ, tujuan kita masih jauh dan masih akan banyak hal-hal yang belum kita temukan akan kita lalui. Marilah terus bergerak, karena diam adalah statis. Teruslah berjalan, karena berhenti adalah kebekuan. Statis dan kebekuan yang hanya akan mendatangkan kematian. Kematian hati, amal bahkan peradaban.

Apa kabar saudara-saudaraku? Semoga kita senantiasa dalam jamaah harokah yang terus bergerak menuju perubahan yang lebih baik. Semoga kita senantiasa berada dalam agenda-agenda dakwah yang penuh berkah. Bukan sempalan-sempalan yang hanya diam. Bukan kritikus-kritikus tanpa perubahan. Dan bukan benalu-benalu yang selalu menjadi beban berat dari keberlangsungan dakwah.

Saudaraku, sedikit ingin kugambarkan bagaimana kita memang telah terpilih oleh Allah untuk memikul amanah ini. Kita yang memang seharusnya menjadi 'Generasi' yang dijanjikan Allah itu. Bukan malah menjadi generasi yang 'keluar' kemudian digantikan oleh generasi yang lebih baik generasi 554 (Al Maidah: 54). 

Inilah kita. Kita yang terdidik melalui rahim-rahim tarbiyah. Melalui lingkaran-lingkaran penuh berkah dan ketaqwaan. Barisan-barisan yang selalu siap apabila datang seruan genderang perang. Dan memang sudah selayaknya kita harus senantiasa bersiap-siaga, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.


Sedikit saya ingin bercerita di surat kedua in, tentang tantangan dan kewajiban kita sebagai kader dan aktivis dakwah. Saat ini saya sedang merintis TPA di tempat yang baru 3 bulan lebih saya tempati. Alhamdulillah, setelah pendekatan intensif dengan pengurus masjid selama 2 bulan, saya akhirnya memberanikan diri untuk membuka kembali TPA yang (katanya) sempat mati suri. "Memang dulu pernah ada TPA di sini, tapi yang ngajar sekarang udah pindah, trus TPA-nya ditinggalin gitu ajah" begitu penuturan salah seorang pengurus masjid. "Kalau adek mau lanjutin ya syukur Alhamdulillah, paling gak anak-anak pada gak ngongkrong-nongkrong selepas sholat maghrib."

Begitulah. Jalan sudah terbuka dan inilah babak baru dari perjalanan ini. Akan tetapi, meskipun saya merupakan 'produk' TPA (6 tahun saya di TPA), namun saya tidak mempunyai bekal pengalaman dakwah TPA. Selama ini saya hanya berada dalam lingkungan dakwah sekolah, kampus dan sesekali terjun ke dakwah kampung remaja masjid. Tapi apa boleh buat, inilah momentum yang mungkin tidak akan datang untuk kedua kalinya. Ya! momentum karena saya orang baru di sini, momentum karena saya dipercaya menjadi imam sholat rawatib, momentum karena saya dipercaya memimpin Yassin-an dan momentum karena pengurus masjid menyambut dengan hangat tawaran saya ini.

Dan sekali lagi, inilah skenario Allah. Skenario saya pindah dan berada di tempat ini. Skenario menjadi imam rawatib. Skenario ketika ada orang meninggal tetapi tidak ada ulama yang memimpin pembacaan doa. Skenario ketika guru TPA yang lama 'menghilang'. Skenario ketika banyak anak-anak yang hanya duduk-duduk saja selepas sholat maghrib. dan Inilah kewajiban saya selaku insan yang telah terdidik dan besar bersama dakwah, baik di TPA, sekolah ataupun kampus.

Hingga surat ini saya tulis, saat ini sudah sekitar 10 anak yang (kembali) mengaji, baik iqro ataupun Al Qur'an. Walaupun mereka terbata-bata karena memory huruf-huruf hijaiyyah yang telah lama hilang dari ingatan mereka. Walaupun tanpa kurikulum intensif ala TKIT, SDIT atau sekolah terpadu lainnya. Walaupun kadang masjid sering mati lampu karena pemadaman bergilir. Walaupun mereka bosan dengan guru mereka yang hanya satu dan itu-itu saja. Walaupun kadang mereka berkelahi satu dengan lainnya, adu mulut bahkan main tangan karena boleh jadi ajaran dari orang tuanya yang suka memukuli mereka. Hingga walaupun mereka rata-rata berasal dari keluarga miskin dengan rumah bedeng semi permanen dan harus membagi waktu mereka dengan tugas menjaga adik, mengerjakan PR atau membatu orang tua mencari nafkah. NAMUN, mereka tetap semangat belajar, tidak pernah mengeluh apalagi absen. 

Semoga, dengan tidak bermaksud riya, sedikit kabar ini dapat menjadi pelecut kerja-kerja dakwah saudara-saudaraku di sana.. (bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?