Suatu hari, al Hasan al-Bashriy kedatangan tamu budak-budak kota Bashrah. Mereka menyampaikan permohonan agar al-Hasan berkhutbah di masjid Bashrah tentang keutamaan membebaskan budak. Al-Hasan pun ber-istitsna’ (mengucap insyaAllah) menyanggupinya. Hari Jum’at tiba. Budak-budak kota Bashrah yakin bahwa hari itu adalah hari kebebasan mereka. Namun, dari sejak mengucap salam sampai mengakhiri khutbahnya, tak sepatah kata pun diucapkan al-Hasan berkenaan dengan keutamaan membebaskan budak.
Begitulah, hal itu berlangsung selama beberapa Jum’at sampai suatu Jum’at al-Hasan berkhutbah tentang keutamaan membebaskan budak dengan begitu fasih dan baligh (mengena di hati). Seusai sholat Jum’at, budak-budak itu pun dipanggil oleh tuan-tuan mereka. Dan mereka pun merdeka, dibebaskan tanpa tebusan sepeser pun. Lalu para mantan budak itu berbondong-bondong mendatangi kediaman al-Hasan. Mereka menyampaikan kekecewaan mereka kepada al-Hasan, mengapa beliau tidak menyampaikan khutbah itu pada Jum’at pertama, yang mengakibatkan kemerdekaan mereka pun tertunda beberapa hari.
Al-Hasan menjelaskan bahwa pada Jum’at pertama ia belum memiliki budak, dan mesti mengumpulkan uang dulu untuk membeli seorang budak. Lalu pada Jum’at berikutnya ia memang telah memiliki budak, tetapi ia masih memerlukannya untuk membantunya menyelesaikan beberapa pekerjaan. Barulah pada Jum’at berikutnya semua pekerjaannya telah selesai dan ia bisa memerdekakannya. Setelah ia membebaskan budak beliannya itulah ia baru berkhutbah tentang keutamaan memerdekakan budak. Mendengar penjelasan itu, para mantan budak itu menundukkan muka dan beranjak pulang .
.....
Al-Hasan benar-benar menebarkan cahaya di kota Bashrah, dan ia bukan pemberi cahaya tipe lilin yang melelehkan dirinya sendiri. Al-Hasan mengerti bahwa yang dipuji oleh Allah sebagai orang dengan ahsanu qaulan adalah orang yang menyeru kepada Allah dan ia pun mengerjakannya. (QS Al-Fushshilat : 33)
Al-Hasan pun memahami betapa besar ancaman bagi mereka yang melupakan diri sendiri.
Pada hari kiamat nanti akan didatangkan seorang laki-laki. Ia dilemparkan ke dalam neraka sementara ususnya berhamburan di sana. Ia berputar-putar seperti berputarnya keledai pada poros penggilingan. Para penghuni neraka mengelilinginya dan bertanya, “Wahai fulan, ada apa dengan dirimu? Bukankah yang dulu memrintahkan kepada kami perihal yang ma’ruf dan melarang kami akan yang mungkar itu adalah kamu?” Orang itu menjawab, “Aku telah memerintahkan kepada kalian perihal yang ma’ruf namun aku tidak mengamalkannya, dan aku melarang kalian akan yang mungkar namun aku justru melakukannya.” (HR al-Bukhary)
......
Seseorang datang kepada Ibnu Abbas dan berkata:”Hai Ibnu Abbas, saya ingin melakukan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.”
Ibnu Abbas bertanya kepadanya,”Apakah Anda telah mencapai derajat itu?”
Jawabnya,”Semoga begitu…”
Ibnu Abbas berkata,”Jika Anda tidak khawatir kecewa dengan 3 ayat dalam Al-Qur’an, maka laksanakan!”
Orang itu bertanya,”Apakah itu?”
Jawab Ibnu Abbas:”
1. ‘Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dari (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?’ (Al-Baqarah : 44)
2. ‘Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan’ (Ash-Shaff : 2-3)
Kemudian beliau bertanya, Aapakah Anda telah melaksanakan ini?”
Dijawab orang itu, “Belum…”
3. ‘Syu’aib berkata: Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan dianugerahiNya aku daripadaNya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintahNya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya lah aku kembali.’ ( Hud : 88)
Ditanya oleh Ibnu Abbas:”Apakah Anda telah melaksanakn ini?”
Jawab orang itu,”Belum…”
Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya :”Dahulukan memperbaiki dirimu!”
......
Mengaplikasikan suatu nasihat kepada diri sendiri memang bukan perkara yang mudah. Akan tetapi kita telah tahu seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan oleh aplikasi atas prinsip ibda’ bi nafsika. Akankah kita mengambil resiko itu?
Namun perlu diingat, ini bukan berarti jika kita belum mampu mengerjakan hal yang ma’ruf atau meninggalkan kemungkaran, lantas sah-sah saja kita meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar…membiarkan saudara kita berada dalam kemaksiatan…Tidak.
Menafsirkan ayat 44 dari QS Al-Baqarah, Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah bukan mencela sikap amar ma’ruf nahi mungkar orang Yahudi sementara mereka tidak memenuhinya. Akan tetapi Allah mencela mereka karena mereka benar-benar tidak mau memenuhinya.
Amar ma’ruf dan melakukan kebaikan sama-sama wajib. Yang satu tidak dapat mengggugurkan yang lain. Seorang ‘alim mempunyai dua kewajiban. Pertama, mengamalkan ilmu yang ia miliki untuk keselamatan dirinya sendiri. Kedua, mendakwahkannya dengan ber- amar ma’ruf nahi mungkar. Tentu saja amar ma’ruf dengan cara yang ma’ruf pula, dan nahi mungkar tapi jangan sampai menimbulkan kemungkaran lain.
Bila seseorang belum mampu menerapkan suatu ilmu pada dirinya, bukan berarti gugur kewajiban untuk menyeru saudaranya yang lain. Hanya saja, proses amar ma’ruf itu akan lebih efektif dan cepat jika yang menyeru sudah mengamalkannya. Dan yang wajib lagi lebih utama bagi seorang yang mengerti adalah ia memenuhinya bersama dengan mereka yang diseru, bukannya malah melalaikan diri sendiri.
Maraji :
• Majalah ar-risalah no.15/th.2 jumadil tsani-rajab 1423H/ sept 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada yang mau berpendapat?