Oleh: Farizal (Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI)
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kampanye pengendalian populasi terus digencarkan. Program Keluarga Berencana (KB), layanan kontrasepsi gratis, kampanye “satu anak cukup,” hingga promosi gaya hidup childfree, kerap dipromosikan sebagai solusi atas kemiskinan dan krisis lingkungan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, pendekatan ini lebih banyak berakar pada teori Malthusian, bukan pada realitas struktural dan ekonomi yang sebenarnya.
Teori Malthusian dan Akar Ideologis Pengendalian Populasi
Thomas Robert Malthus, seorang ekonom Inggris abad ke-18, meyakini bahwa populasi manusia bertumbuh secara geometris, sementara pertumbuhan sumber daya berjalan secara aritmetis. Menurut pandangannya, ketimpangan ini akan menyebabkan kelaparan massal, kemiskinan, dan bencana sosial, kecuali jika pertumbuhan penduduk dibatasi secara aktif.
Teori Malthus menjadi dasar berbagai kebijakan global yang menargetkan pembatasan jumlah kelahiran, terutama di negara-negara miskin. Bantuan luar negeri kerap disyaratkan dengan penurunan angka kelahiran. Namun, pendekatan ini cenderung mengabaikan akar sebenarnya dari masalah kemiskinan: ketimpangan distribusi kekayaan dan penguasaan alat produksi oleh segelintir elit.
Karl Marx: Kritik terhadap Narasi Kelangkaan
Berbeda dengan Malthus, Karl Marx melihat persoalan kemiskinan bukan pada jumlah manusia, tetapi pada siapa yang menguasai sumber daya. Dalam kerangka pemikiran Marx, kelaparan terjadi bukan karena kekurangan pangan, tetapi karena distribusi yang tidak adil. Kekayaan yang terkonsentrasi di tangan 1% populasi global menjadikan mayoritas manusia kesulitan mengakses kebutuhan dasar.
Analisis ini diperkuat oleh data seperti laporan Oxfam yang menyatakan bahwa 1% orang terkaya menguasai lebih banyak kekayaan daripada 95% populasi dunia lainnya. Artinya, narasi bahwa "orang miskin tidak boleh punya banyak anak" justru memindahkan tanggung jawab dari sistem ke individu, dari ketimpangan struktural ke pilihan pribadi.
Perspektif Ekonomi Islam: Distribusi, Bukan Pembatasan
Ekonomi Islam memiliki posisi yang lebih seimbang dan manusiawi dalam memandang isu populasi. Islam tidak menolak hak milik pribadi, namun menegaskan pentingnya distribusi yang adil dan larangan penimbunan (ihtikar). Islam juga melarang penguasaan sumber daya publik oleh segelintir orang, serta praktik ekonomi manipulatif seperti riba yang memperkaya minoritas dengan menghisap mayoritas.
Dalam Islam, manusia dipandang sebagai khalifah di bumi—bukan beban ekologis. Banyaknya penduduk bukanlah masalah jika kekayaan dan sumber daya tidak dimonopoli. Nabi Muhammad saw. bahkan menganjurkan umat untuk memperbanyak keturunan, selama didasari tanggung jawab dan keberkahan, bukan sekadar kuantitas.
Lebih dari itu, Islam tidak memaksakan pembatasan kelahiran oleh negara. Islam membolehkan perencanaan keluarga dalam kondisi tertentu, seperti keterbatasan ekonomi atau kesehatan, namun larangan bersifat kolektif dan koersif terhadap kelahiran bertentangan dengan prinsip syariah.
Narasi Populasi sebagai Alat Ideologis
Kampanye pengendalian populasi seringkali digunakan sebagai tameng ideologis untuk melindungi kekuasaan dan kekayaan elit global. Ketika penduduk banyak disalahkan sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan, perhatian publik teralihkan dari akar persoalan yang lebih substansial: sistem ekonomi yang timpang, rakus, dan monopolistik.
Dengan menyalahkan rakyat kecil karena memiliki banyak anak, elit tidak perlu mempertanggungjawabkan praktik akumulasi kekayaan yang tidak adil. Padahal, di balik setiap krisis pangan, perumahan, atau air bersih, sering kali terdapat kebijakan ekonomi yang memungkinkan satu orang memiliki seratus rumah, sementara seratus orang tidak memiliki satu pun.
Kesimpulan: Tantangan untuk Memikirkan Ulang Arah Kebijakan
Pembangunan yang berkeadilan tidak lahir dari pembatasan populasi, tetapi dari distribusi yang merata, transparansi dalam pengelolaan sumber daya, dan sistem ekonomi yang berpihak pada kemaslahatan umat. Perspektif ekonomi Islam menolak pendekatan Malthusian yang reduktif dan tidak manusiawi, serta menawarkan pendekatan alternatif berbasis keadilan, solidaritas, dan keberkahan.
Kebijakan publik perlu dikaji ulang: apakah benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar melanggengkan dominasi segelintir? Sebab ketika manusia dipandang sebagai ancaman, bukan amanah, maka kebijakan pun akan lebih cenderung menindas daripada memerdekakan.