02 Januari 2009

Menggugat Kapitalisme Barat

Menggugat Kapitalisme Barat

Krisis keuangan global telah memberikan wajah lain dari ekonomi kapitalis. Tentunya wajah setelah kemenangannya dari sistem ekonomi sosialis. Wajah yang dalam beberapa dekade terakhir mulai menyita waktu para penganut dan pemujanya untuk menganalisa apa yang salah dalam sistem ekonomi yang mereka bangga-banggakan. Krisis yang menghantam kemapanan ekonomi Amerika dan menjalar pula ke Eropa dan Asia (Afrika hampir tak pernah mengalami hal ini karena relatif pasar keuangannya tidak berkembang) ternyata membuat para ekonom terjaga. Sebelum ini, mungkin mereka mengira krisis-krisis ekonomi yang terjadi merupakan sebuah imunitas untuk menuju kemapanan ekonomi yang lebih baik. Namun, mengapa krisis masih terus terjadi?

Sedikit melihat sejarah bahwa ilmu pengetahuan di Barat termasuk sistem kaplitalis berkembang setelah proses renaissance terhadap the Dark Age pada abad ke-14. Proses tersebut merupakan sebuah simbol pemberontakan terhadap sistem kebobrokan gereja, yaitu pemberontakan melawan ketentuan politik gereja yang menyatukan antara ilmu dengan agama. Sebagai contoh ketika gereja mengatakan bumi datar, kemudian datanglah Galileo Galilei yang menyatakan bumi ini bulat. Apa yang terjadi adalah gereja sangat marah dengan Galileo karena melawan konsepnya. Akhirnya, Galileo digantung hingga menemui ajalnya. Tetapi, begitu dapat dibuktikan bahwa bumi bulat, masyarakat Barat mulai tidak percaya dengan gereja. Mereka kemudian membuang keimanan mereka dan menjadikan sains sebagai 'Tuhan' alternatif. Sejak saat itu gerakan pencerahan muncul dan mulai direspon oleh masyarakat Barat.

Saat itulah sekulerisasi gencar dikumandangkan, yaitu pemisahan ilmu pengetahuan dari agama, sehingga cara perolehan ilmu pengetahuan lebih mengedepankan metode induksi (ilmiah) daripada deduksi dari agama. Dan sejak saat itulah perkembangan pesat terjadi dalam ilmu pengetahuan di Barat, termasuk dalam ilmu ekonomi. Sekulerisasi menjadi hal yang penting sebab moral menjadi hal terpisahkan dengan perekonomian.

Dari sekulerisme tersebut lahirlah sebuah sistem ekonomi kapitalis yang mengeliminasi nilai-nilai moral dan agama di dalamnya. Sistem ekonomi yang lebih mengedepankan kepuasan individu, menekankan kepada kepemilikan modal dan menyerahkan kepada supply dan demand pasar dengan tidak dibatasi oleh regulasi yang mengikat.

Kemudian, seiring proses globalisasi, maka terjadilah penyebaran kapitalisme gaya Barat ke seluruh dunia. Semua pihak, pada awal era ekonomi baru seolah memperoleh manfaat dari tatanan Kapitalisme. Tatanan ini mendorong peningkatan aliran dana yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari negara maju ke dunia ketiga, yakni enam kali lipat dalam enam tahun, peningkatan perdagangan yang mencapai 90% lebih dalam satu dekade, dan angka pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Namun memasuki abad 21, kapitalisme gaya Barat mulai dirasakan menimbulkan permasalahan ekonomi dunia, terutama hal-hal yang menyangkut kesejahteraan umat manusia.

Hingga hari ini, kapitalisme telah mengantarkan dunia kepada kegagalan menciptakan keadilan dan kesejahteraan, ketidakseimbangan pendapatan dan kekayaan antarkelompok masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Harga-harga yang melambung tinggi, kemiskinan yang semakin meningkat, utang negara dunia ketiga yang semakin mencekik akhirnya membuat rakyat berteriak hingga kerusuhan terjadi di mana-mana.

Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan pelajaran secara bertahap mengubah paradigma kita selaku bangsa yang mayoritas umat Islam dari orientasi akumulasi kapital pada orientasi keadilan sesuai dengan prinsip Islam dan realitas sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa.

Pertanyaan menarik yang penting, mengapa konsep ekonomi Barat diterapkan secara utuh di negara kita yang notabene memiliki sejarah yang berbeda? Apalagi kehidupan bangsa Indonesia sarat dengan nilai agama. Masyarakat Barat maju seperti sekarang karena meninggalkan agamanya. Mereka tidak percaya dengan konsep Tuhan yang menjadi doktrin gereja saat itu.

Mari kita lihat beberapa asumsi yang digunakan Barat menafsirkan fenomena ekonomi. Pertama, terlalu menyederhanakan masalah. Terlalu banyak variabel yang diabaikan dan dimasukkan dalam asumsi ceteris paribus, artinya dianggap tetap dan tidak berubah.

Mereka pun terkadang salah kaprah dalam menggunakan matematika, padahal terkadang matematika tidak dapat menjelaskan keseluruhan faktor yang melandasi terjadinya sebuah fenomena. Contohnya adalah fungsi kepuasan (utility function), di mana penggunaan matematika ternyata belum mampu menerangkan secara utuh keseluruhan faktor yang menjelaskan tingkat kepuasan masyarakat.

Kedua, manusia seperti partikel dan hanya menuruti satu hukum, yaitu mementingkan diri sendiri (selfish). Ini tidak benar. Mari kita lihat ultimatum game yang dijelaskan melalui eksperimen. Dari ultimatum game, dapat dijelaskan bahwa manusia itu tidak selfish. Manusia memiliki motivasi lain dalam perilaku ekonomi seperti keinginan berkorban, mencintai, dan keinginan menolong.

Inilah nilai-nilai yang dianjurkan Islam. Sampai sekarang ekonom Barat tidak mengerti mengapa hal ini terjadi. Kesimpulannya, ekonomi yang mengandung nilai-nilai, seperti pengorbanan dan kasih sayang merupakan bagian integral dari sifat alami manusia dan bukan sesuatu yang terpisah.

Ketiga, ekonomi Barat menganut falsafah bebas nilai (positivism). Agama (baca: Islam) mengatur nilai-nilai (baik-buruk, halal-haram). Barat tidak memiliki pilihan karena mereka tidak punya wahyu. Sementara bagi kita, kita tidak bisa menjalankan ekonomi tanpa nilai-nilai. Terbukti salah satu penyebab utama terjadinya krisis saat ini adalah akibat tidak adanya peran etika dan moralitas (akhlakul karimah) dalam ekonomi.

Keempat, ada hukum-hukum tertentu dari perilaku ekonomi. Sebenarnya, manusia bebas dan dapat memilih hukumnya sendiri. Contohnya, mengajari anak-anak dengan nilai-nilai agama.

Jika dari kecil anak-anak diajari mencintai manusia khususnya orang miskin, tidak akan ada kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dahsyat seperti sekarang ini. Tetapi, jika anak-anak diajari untuk egois, akan terdapat orang yang kelaparan. Agama Islam mengajarkan bahwa kemiskinan itu adalah akibat tidak bertanggung jawabnya orang-orang kaya di dalam masyarakat.

Penafsiran ekonomi Barat pada ekonomi positif tidak memberi ruang bagi ekonomi normatif. Ekonomi normatif dipasung dalam pakem nilai-nilai agama yang tidak diakui oleh Barat. Mereka mengatakan tidak ada hubungan antara ekonomi dan agama. Tidak ada hubungan antara pengangguran dan agama. Tidak ada hubungan antara kemiskinan dan agama. Tidak ada hubungan antara gejolak pasar modal dengan agama.

Haruskah kita percaya pada penafsiran Barat yang jelas-jelas menolak Tuhan dalam memecahkan fenomena ekonomi? Haruskah kita menunggu kematian ekonomi seperti kematian Galileo di tiang gantungan?

(diataptasi dari tulisan Bang Irvan Syauqi Beik - Menggugat Ekonomi Barat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?