14 November 2010

Ketika Utang Menjadi Gaya hidup

Ideologi materialisme dan kapitalisme saat ini terlalu dalam merasuki gaya hidup masyarakat kita, khususnya kalangan perkotaan dan masyarakat transisi dari desa ke kota. Doktrin dan pengaruhnya sangat merusak sendi-sendi berpikir dan bersikap orang yang telah dirasukinya,
terutama penyakit budaya hedonis dan konsumtif serta gengsi. Indonesia adalah salah satu korban materialisme, apitalisme, budaya hedomis serta gaya hidup konsumtif.
Memang menggoda punya tas bermerek atau sepatu rancangan eksklusif desainer. Selain hati puas, juga muncul rasa pede, karena rasanya semua mata memandang kagum. Atau, bila ingin hangout di tempat-tempat gaul terbaru, rasanya kurang gaya kalau tidak nongkrong di kafe atau resto yang sedang menjadi buah bibir. Memuaskan diri demi tuntutan gaya hidup masa kini, rasanya memang tidak akan ada habisnya. Berbagai benda fashion, gadget, hingga otomotif, siap menggoda iman semua orang. Setengah sadar, kita pun merogoh kocek lagi hanya demi gengsi sesaat itu.
Inilah Bukti paling kongkrit gaya hidup konsumtif. Ironis, setiap bayi Indonesia yang terlahir menanggung beban utang, sementara gaya hidup masyarakatnya masih terus menikmati utang luar negeri. ini kita lihat pada serangan besar-besaran promosi kartu kredit (credit card), belum lagi iming-iming discount dan kemudahan yang ditawarkannya membutakan hati orang yang tidak cerdas pola konsumsinya. Negeri kita menjadi salah satu target paling empuk para penjaja bisnis kartu kredit ini.

Gaya, Lebih dihargai
Kalau kita perhatikan sekitar awal tahun ‘90-an, bisa dibilang pusat perbelanjaan di kota-kota besar hanya ada satu atau dua. Butik-butik yang memajang merek ternama bisa dihitung dengan jari. Tapi, sekarang, mal-mal mewah bertebaran di setiap sudut kota. Tak hanya di kota-kota besar, melainkan sampai kota-kota kecil. Akibatnya, masyarakat kita jadi familiar dengan produk-produk fashion bermerek asing yang harganya mungkin tak mungkin terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan menengah ke bawah. Namun, nyatanya, tidak hanya kalangan superkaya yang mampu membelinya. Kalangan menengah pun tidak sedikit yang bisa ikut memilikinya. Jalan yang biasa ditempuh adalah dengan berutang
Mengapa orang-orang yang berpenghasilan menengah ke bawah ikut-ikutan membeli barang-barang mewah tersebut? Jawabannya, beberapa tahun belakangan ini yang dibangun oleh pemerintah adalah karakter masyarakat yang materialistis. Menjamurnya pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan, membuat orang jadi konsumtif. Begitu pula perlakuan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh para sales promotion girl (SPG), hanya akan menawarkan produk mereka kepada orang-orang yang penampilannya keren, dan memandang sepi orang-orang yang penampilannya biasa-biasa saja. Contoh lainnya, Kalau kita masuk ke butik mewah dengan dandanan seadanya, bisa jadi pramuniaga akan melemparkan pandangan meremehkan, bahkan penuh curiga. Sebaliknya, kalau kita masuk ke pusat perbelanjaan dengan mengendarai mobil mewah, biasanya petugas parkir akan segera mencarikan tempat parkir yang strategis di dekat pintu masuk. Begitulah, orang kaya atau kalangan elite, sepertinya memang dianggap layak mendapatkan perlakuan istimewa. Tak heran jika orang berlomba-lomba agar bisa masuk kekalangan tersebut, atau –paling tidak– terlihat demikian. Hal-hal seperti inilah yang membuat orang ingin punya image bagus, agar mereka lebih dihargai.
Dunia kerja pun tidak jauh berbeda dalam memperlakukan seseorang, terlebih untuk profesi-profesi yang sering bertemu dengan klien bisnis. Banyak karyawan menghabiskan penghasilannya banyak untuk belanja pakaian dan aksesoris. Alhasil, untuk kebutuhan sehari-hari mereka kembali berutang. Mereka berpendapat bahwa penampilan merupakan hal penting untuk membangun kepercayaan klien. Mereka harus memberi kesan bahwa bisa mewakili sebuah image yang professional. Kalau uangnya tak cukup, mereka tidak pernah kehabisan akal. Mereka bisa menyewa barang bermerek dengan tarif jam-jaman, atau membeli produk second hand. Tujuannya hanya satu, agar mereka diakui dan dihargai.
Memang ada orang-orang tertentu yang merasa hidupnya baru berarti bila bisa memiliki barang-barang mahal. Bahkan, di kalangan tertentu, selain berteman, mereka juga saling bersaing, terutama dalam hal kepemilikan barang-barang branded. Misalnya, mereka tidak mau membeli barang di pameran, karena tidak mau barangnya sama dengan orang lain. Akibatnya, memiliki

Hidup di Atas Utang
Memang, di tengah kehidupan yang menuntut serba cepat ini, semakin lumrah saja hidup dengan kredit atau hutang. Semakin mudah kita bisa berutang, semakin modern hidup kita. Mereka banyak yang memiliki rumah bagus, mobil bagus, perabotan dan peralatan rumah yang bagus namun sehari-hari hidup miskin, karena penghasilannya setiap bulan habis untuk membayar berbagai cicilan yang seakan tidak pernah lunas. Mengapa mereka bisa membeli barang mewah dengan begitu mudah? Salah satu jawabannya adalah berkat si kartu ‘ajaib’ alias kartu kredit. Kemudahan untuk memiliki kartu kredit membuat fungsi kartu plastik itu berubah, dari alat pembayaran sementara menjadi fasilitas untuk berutang.
Di lobi-lobi pusat perbelanjaan, bank penerbit kartu kredit rajin menggelar gerai, menawarkan kartu kredit dengan berbagai iming-iming menggoda. Dengan syarat yang relatif ringan, rasanya hampir semua orang kini bisa punya kartu kredit. Bahkan, kartu platinum yang dulu hanya diberikan kepada kalangan tertentu, kini ditawarkan secara bebas.
Menurut peraturan perbankan sebenarnya yang berhak memiliki kartu kredit adalah mereka yang memiliki dana tunai, sehingga saat pembayaran jatuh tempo, mereka mampu membayar lunas. Namun sekarang yang perpenghasilan 2 juta perbulan pun mampu untuk mengajukan kartu kredit dengan limit 30 juta.
“Zaman sekarang, apa, sih, yang tidak bisa dimiliki? Asal berani nyicil, barang apa pun bisa dibawa pulang.” Begitu kira-kira ungkapan si pengguna kartu kredit.  Belakangan ini bahkan mulai bertaburan tawaran berbagai kredit barang dengan bunga nol persen atau dengan cicilan ringan. Siapa pula yang tak tergiur? “Ya, kalau bukan lewat kredit, rasanya agak mustahil bisa memiliki barang-barang yang selama ini hanya bisa mampir dalam mimpi.” Kilah si pengkredit, “Mau menabung dulu, pasti terlalu lama, dan barangnya sudah keburu out of date atau harganya sudah naik.” Sayangnya, kita jadi sering lupa mengukur kemampuan, hingga akhirnya terlilit utang.
Bagi mereka yang mampu, tentunya tak ada masalah dengan pelunasan barang-barang yang telah didapatkan melalui kartu kredit. Namun, mereka yang dengan gaji pas-pasan ada kemungkinan gaya hidup seperti tersebut di atas disebabkan oleh keadaan psikologis seseorang. Mereks bisa jadi dalam keadaan depresi, sedih, atau kecewa. Keadaan hidup yang sulit seperti sekarang ini membuat orang merasa perlu menghibur diri, atau sesekali ingin juga merasakan gaya hidup mewah. Misalnya, karena pernah ditraktir teman di sebuah restoran mewah, ia lalu berpikir, “Wah, ternyata enak juga, ya, jadi orang kaya.” Eh, akhirnya malah keterusan. Mereka sering kali pandai memanipulasi alasan, sehingga kebutuhan untuk memiliki suatu barang menjadi masuk akal.
Memang sifat hedonisme tidak mengenal batas usia, tidak mengenal juga strata hidup . Namun, biasanya yang rentan terhadap perilaku seperti ini adalah mereka yang pribadinya tidak matang dan tidak sanggup untuk mengkontrol diri. Dalam keadaan seperti ini, prioritas dalam menggunakan uang pun ikut terpengaruh. Uang yang seharusnya untuk membayar cicilan rumah, malah dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak urgent.
Sebagai contoh, Kebiasaan untuk berbelanja tanpa adanya kontrol yang ketat dan berburu barang sale membuat seseorang terjebak dalam pola belanja gila-gilaan. Obsesi berbelanja itu bukan timbul karena mereka membutuhkan benda-benda yang mereka beli, melainkan karena ingin dihargai dan diakui. Kalau mereka menyebut itu sebagai rasa bahagia, itu hanyalah kebahagiaan sesaat. Karena, kebahagiaan memiliki makna yang dalam. Bagaimana bisa bahagia, kalau kita membohongi diri sendiri dan orang lain, serta dikejar-kejar utang.
Inilah suatu penyimpangan kebiasaan. Ada pergeseran kebiasaan yang tidak produktif, yaitu membangun kebiasaan yang tidak ada gunanya, hanya supaya dikagumi orang. Jika digali lebih jauh, bisa jadi ada unsur tidak percaya diri yang menjadi faktor penyebab terjadinya perilaku tersebut. Kalau barang mewah yang melekat di tubuh itu satu per satu dilepaskan, orang yang bersangkutan akan merasa tidak nyaman lagi.
Lalu, dari mana kita tahu bahwa kita sudah terjerat kemewahan? Jawabannya adalah jika utang kita sudah bertumpuk dan menjadi gaya hidup, sehingga porsi uang untuk membeli barang kebutuhan pokok jadi berantakan. Hidup pun jadi tidak seimbang. Porsi makanan dan vitamin dikurangi, hanya demi memenuhi tuntutan gaya. Bahkan, mereka yang sudah nekat menarik uang tunai lewat kartu kredit, sudah masuk tahap ‘kanker’ (kantong kering), sehingga harus ‘dikemote-rapi’ habis-habisan,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?