Salah satu persangkaan yang banyak digunakan orang dan menjelma menjadi sebuah pandangan umum adalah tentang gambaran seorang laki-laki. Sosoknya dicitrakan sebagai makhluk yang perkasa, kuat, penuh ambisi untuk menaklukkan dunia. Hingga tak disisakan sedikitpun ruang untuk kehalusan rasa dan air mata. Bila benar demikian, bagaimana mungkin ia akan mampu mengemban amanah Allah swt yang dibebankan di kedua tangan dan pundaknya? Padahal, keperkasaan yang terkadang menjelma menjadi kegarangan, di suatu waktu atau peristiwa akan mengembun. Sebab, di kedalaman nuraninya tetap saja ada kelembutan yang bertahta.
Cengeng, banci dan gelaran lainnya akan segera tersemat di belakang mereka ketika diketahui bahwa mereka sering bahkan selalu menangis. Padahal, bukankah mereka juga manusia yang sama dengan perempuan? Sama-sama memiliki hati dan perasaan untuk mencerna semua masalah yang menghadang di depannya? Lalu kesalahannya dimana?
Jika tangisan atau air mata itu menderas untuk sebuah kekecewaan, kesia-siaan, patah semangat tanpa keinginan untuk bangkit lagi, atau bukan di jalan Allah swt, julukan seperti di atas mungkin (sekali lagi mungkin) bisa dialamatkan kepada laki-laki. Namun bagaimana kita memaknai derasan air mata yang lahir dari kegundahan hati laki-laki yang melihat kondisi ummat ini masih saja terpuruk di lembah terdalam kejahiliyahan? Merasa belum berbuat maksimal untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan sana? Atau mata yang kaca kala mengingat belum sempurna kecintaannya kepada Sang Khaliq dan RasulNya yang mulia?
Bagaimana pula dengan isakan mereka di penghujung malam, kala mengingat dan menghitung-hitung dosanya di hari lalu, sementara jaminan syurga tak ada sedikitpun dalam genggaman? Mengenang keterpurukan nilai-nilai suci ISLAM yang tenggelam oleh ummatnya sendiri lantaran masing-masing bertahan dengan ego dan pemahaman jamaah tempatnya belajar mengkaji semuanya sementara usaha yang dilakukannya untuk menyatukan mereka hampir tak mendapat tempat sama sekali?
Bagaimana pula dengan rintihan tertahan para laki-laki yang belum juga mampu menyadarkan anak perempuan atau istrinya agar berhijab dengan sempurna? Atau kala mengetahui bahwa anaknya menjalin hubungan dengan seseorang yang bukan mahromnya dalam sebuah ikatan yang bukan pernikahan?
Ah, mungkin kita semua harus belajar membaca makna. Mencerna segala sesuatu dari kandungan isi tanpa tertipu penampilan luar. Untuk apa dan siapa air mata itu harus mengalir. Seperti tangisan Muhammad saw Sang Teladan. Padahal sejarah mencatat beliau sebagai seorang panglima perang yang paling cerdas di segala medan. Yang paling tegar di hadapan semua cobaan dan fitnah. Yang paling tegas di hadapan kaum kuffar. Namun, tetap saja matanya mengalirkan air kala bersujud di hadapan Rabbnya, atau kala mengingat semua ummatnya yang belum juga sempurna mengabdi pada Rabb Semesta Alam.
Sumber: lupa sumbernya dari mana.. nemu di laptop...
I see
BalasHapus