11 Februari 2011

Iman dan tindakan berekonomi

Iman, kadang tidak rasional. Bahkan iman bisa bertolak belakang dengan iman. Rasional di sini tentunya mengambil dari referensi barat yang sekarang telah menjadi pandangan umum ummat manusia. Iman, yang membuat amarah Umar berubah menjadi tangisan taubat. Iman pula yang membuat Abu Bakar hanya meninggalkan Allah dan Rasul-nya untuk menghidupi keluarganya, sedang hartanya ia sumbangkan semua untuk dakwah Islam. Sehingga iman menjadi perisai Mus'ab bin Umair rela berdiri di tumpukan nyawa sang ibu.

Ketika iman telah meresap dalam hati, diucapkan dengan lisan maka akan tercermin dari amal perbuatan. Segala perilakunya tentu harus persetujuan Allah yang diimaninya. Mulai dari ketaatan ibadah, hingga tingkah taku sesama manusianya. Sehingga mustahil orang yang beriman melanggar perintah-Nya dan mengerjakan hal yang dilarang-Nya Karena ketika ia dalam kondisi seperti itu, maka iman telah hilang dari dirinya.

Termasuk iman dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Segala perilaku yang ia kerjakan harus sesuai dengan apa yang telah digariskannya. Tiada lagi tawar-menawar mencari pembenaran hingga keringanan untuk sedikit melanggar sesuatu yang dilarang. Karena kalau ia melanggar, maka BOHONG besar apabila ia beriman. Apakah Bilal lantas meminta keringanan untuk menyatakan bahwa Latta dan Uzza adalah tuhannya hanya karena tubuhnya ditindih batu besar di padang pasir pada saat matahari menyengat dengan panasnya? 

Itulah iman yang tak bisa ditawar bahkan meminta keringanan untuk sekedar menabung di bank haram karena fasilitas, kemudahan atau sekedar luasnya jaringan. Karena lawan dari iman adalah kafir. Kafir yang diibaratkan Allah seperti seseorang yang berada di lautan luas di malam hari, diliputi ombak yang diliputi ombak lagi dan dinaungi awan yang gelap. Hingga ia tidak bisa membedakan yang halal dan haram, yang manfaat atau mudharat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?