16 Februari 2011

Sketsa Penegak Hukum

Ada sedikit pengalaman menarik dari para penegak hukum di tempat daerah saya tinggal sekarang ini. Tentang Kejujuran, keadilan dan harga diri. Semuanya telah tereliminasi dari orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum tersebut. Saya tidak ingin ghibah atau menjelek-jelekkan pihak-pihak tertentu. Tapi hanya ingin berbagi, mengingatkan dan memberi perhatian khusus agar institusi-institusi penegak hukum tersebut dapat instropeksi untuk kemudian menjadi lebih baik setelahnya. Di samping juga, saya tidak memiliki kemampuan (power) untuk memperbaiki dengan tangan, oleh karenanya saya hanya bisa menuliskannya dengan harapan mereka-mereka ynag mempunyai kekuatan dapat segera memperbaikinya dengan tangan-tangannya.

Awal mulanya cerita, saya beserta istri baru pindah beberapa pekan di kota yang kami tinggali sekarang. Untuk mempermudah mobilitas dan transportasi kami memutuskan datang ke salah satu dealer motor dekat kediaman kami untuk membeli sepeda motor, tipe 'betik' (bebek metik) keluaran terbaru (sampai dengan saat ini setahu dan sepengelihatan saya dan istri, kami belum pernah melihat motor dengan tipe yang sama berkeliaran di kota ini, entah karena memang promosinya yang kurang atau memang belum ada minat dari masyarakatnya). Kami pun sepakat kredit motor, karena untuk tunai belum ada anggaran.

Singkat cerita, kami pun pergi kemana-mana dengan betik tersebut, tentunya dengan menggunakan helm walau plat nomor motor belum ada karena sedang dalam proses di dealernya. Kami lihat banyak orang 'seliweran' di depan petugas polisi dan pos polisi dengan tanpa menggunakan helm. Saya heran, mengapa petugas polisi tersebut tidak menilangnya? Mungkin masih jalanan 'kampung'. Akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa boleh tidak pakai helm karena memang jalanan tersebut masih 'jalan kampung'. Hal tersebut didukung kondisi jalan yang memang rusak dan banyak lubang. Sehingga lama kelamaan kami tidak memakai helm lagi jika hanya melewati 'jalan kampung' tersebut, disamping tidak kena tilang juga karena agak berat dan panas jika harus memakai helm (sepakat tak?!)

Setelah beberapa hari kami seliweran di depan polisi itu dan tidak pernah kena tilang. Polisi mendiamkan dan tanpa ada reaksi. Bukan hanya para pengendara motor yang melanggar yang didiamkan, tapi juga ketika lalu-lintas macet dan para pengendara tidak ada yang mau mengalah. Mereka hanya diam menonton. Sehingga kadang saya tertawa dalam hati melihat kondisi yang ada.

Namun, di suatu pagi kami keluar seperti biasa untuk jaga toko di dekat pasar, kami tiba-tiba diberhentikan oleh petugas polisi. Langsung saya masuk ke pos yang tidak jauh dari tempat kami ditilang, sedang istri menunggu di luar. Setelah menerangkan bahwa saya orang baru dan baru pindah beberapa pekan, maka terjadilah dialog yang menurut saya cukup menggelikan.
"Kamu kerja apa?" tanya salah seorang petugas polisi dengan gayanya yang sok kuasa.
"Baru keterima PNS, Pak!" jawab saya, dengan pasang wajah agak acuh tak acuh.
"Bayar berapa?" tanyanya lagi meremehkan.
"Insya Allah murni, Pak. Tidak pake duit-duitan"
Tiba-tiba rekan petugas polisi yang duduk disampingnya yang juga berseragam polisi berkata, "Kita masuk jadi polisi juga enggak pake duit-duitan, tapi duit beneran, hehe...."

Polos.. namun menginjak-injak harga dirinya. Setelah itu dialog-dialog  mereka arahkan agar saya 'berdamai' dengan para polisi itu untuk 'mempermudah' proses. Saya memang salah tidak memakai helm, namun saya tidak mau melakukan kesalahan selanjutnya dengan menyogok. Saya percaya bahwa para penyuap dan orang yang disuap sama saja tempatnya, yaitu neraka jahannam. Mereka menyerah dan alhasil, SIM saya disita dan mendapat surat sidang.

2 pekan kemudian, ditemani istri (karena saya masih asing daerah sini), setelah berkeliling-keliling mencari pengadilan akhirnya tiba juga ditempat yang dituju. Sebelum masuk ke gerbang pengadilan kami berpapasan dengan salah seorang petugas berseragam kejaksaan yang sedang berada di depan kantor kejaksaan (kebetulan pengadilan dan kejaksaannya bersebelahan). Sekedar ingin memastikan bahwa di pengadilan tersebutlah memang tempat untuk mengambil SIM yang disita polisi karena tilang 2 pekan yang lalu. Awalnya petugas kejaksaan tersebut membenarkan dan menunjukkan cara-cara pengambilan SIM, tapi kemudian alangkah mengejutkannya, ia menawarkan ada cara singkat agar SIM dapat cepat diambil tanpa perlu disidang. Tawarannya pun ditambah dengan kalimat-kalimat yang membuat 'angker' apabila mengikuti sidang. Mirip seperti tukang obat asongan menawarkan barang dagangannya. Namun, kembali saya tidak tergoda. Saya ingin ikut sidang biar jujur, sekaligus itung-itung pengalaman karena ini memang pertama kalinya saya ikut sidang. 

Saya pun menuju pengadilan yang tidak jauh dari kantor kejaksaan dengan meninggalkan petugas berseragam kejaksaan tersebut. Setelah tanya ini itu pada petugas yang bersangkutan saya pun masuk ke ruang sidang. Tidak ada kondisi 'angker' seperti yang digambarkan petugas kejaksaan tadi. Terlihat hilir mudik orang-orang dengan urusan masing-masing yang kalau boleh saya terka, kita mempunyai urusan yang sama yaitu sidang dan mengambil surat-surat yang disita polisi saat kena tilang. Namun ada keanehan lagi, dari kejauhan tampak seorang petugas sedang merokok. padahal di depan pintu masuk tadi ada tulisan 'Dilarang Merokok'. 
"Ahh.. biarlah.. tak usah dipusingkan, saya ke sini khan untuk sidang ambil SIM, bukan jadi hakim" gerutu saya dalam hati.

Selang beberapa saat pun pak hakim dengan ditemani seorang ibu paruh baya berseragam layaknya hakim datang. Dengan jalan yang seperti slowmotion, anggun dan penuh keangkuhan ia memasuki ruangan sidang. Di dalam sudah banyak para 'terpidana' tilang yang sudah tidak sabar untuk segera disidang, termasuk saya. 

Satu persatu orang-orang pun dipanggil hingga tiba giliran saya. 
pak hakim bertanya. "salah apa?" basa-basi.
"enggak pake helm, Pak!" jawab saya singkat.
"Lima puluh ribu rupiah, Tok!" 

Singkat, jelas, padat. Tanpa ada ruang untuk membela apalagi naik banding. Akhirnya saya pun merogoh kantong untuk mengambil selembaran uang Rp 50.000,- dan kemudian dibayarkan ke petugas kehakiman. Tapi aneh lagi, tidak ada kuitansi, bukti bayar atau dokumen apapun. Hanya SIM saya yang hampir rusak tertekuk entar oleh petugas polisi atau orang pengadlan yang diserahkannya. Saya berfikir, bisa saja denda tersebut bukan Rp 50.000,- tapi disebut segitu untuk disetorkan ke kas negara setengah atau seperempatnya dan sisanya dibagi-bagi mereka. Kalau satu orang saja yang kena sidang dipotong 10.000 saja maka kalau 100 orang yang kena sidang menjadi 1 juta. Makin banyak yang disidang makin besar uang yang bisa 'disunat'.

Ah.. sudahlah yang penting saya menempuh jalur formal ditengah-tengah jalur haram yang ada. Semua saya serahkan kepada Allah kalau-kalau ternyata uang denda tersebut mereka selewengkan. Dan yang terpenting, saya mampu melewati beberapa jurang dosa yang mereka tawarkan. Semoga cerita ini bisa menjadi instropeksi untuk kita semua, khususnya bagi para aparat penegak hukum sehingga tidak lagi 'meresahkan' masyarakat.


2 komentar:

  1. biasanya pak polisi keliling cari penyakit setiap akhir bulan bos, makanya kita harus hati2 setiap datang akhir bulan :D

    BalasHapus
  2. wah ternyata lain daerah lain jumlahnya, daerah saya tak bawa helm 60rb, ga bawa sim 85rb

    dan pertama dibilangin ntr sidang tapi nyatanya tak sidang,cuman dipanggil kemudian diminta uangnya sejumlah tilangan kemudian udah pergi diambil tu surat-suratnya tanpa tanda bukti juga..

    hmm ternyata..emang motto ada peraturan untuk dilanggar agar dapat untung besar..bagus tu

    BalasHapus

Ada yang mau berpendapat?