28 Februari 2011

Surat dari Lampung (1)

Apa kabar rekan-rekan? Kabar ini saya tulis dengan diliputi perasaan rindu pada kalian. Rindu pada kerja-kerja bareng kita di ROHIS SMAN 49. Rindu pada syuro-syuro IAR, entah itu membahas mentoring, rekruitment atau setidaknya tentang rencana penyelenggaraan dauroh tarqiyah, tafakkur alam dan LDKR. Rindu pada pertemuan-pertemuan pekanan yang dinamis dengan hafalan, qadayyah atau saling tausyiah. Iya, saya rindu semua itu. Entah kapan lagi kita akan bersama. Mengukir indahnya cinta dalam dekapan ukhuwah di jamaah dakwah. berjalan beriringan memikul amanah. Ketika yang satu terluka maka yang lain mengobati. Ketika yang satu salah maka yang lain menasehati. Ahh... entahlah... 

Bang Mamat suatu waktu pernah komentar di facebook saya, "Hidup emang pilihan, masing-masing kita sudah punya jalan. Gw udah menemukan jalan gw sendiri, ente juga udah menemukan jalan ente, kita berjuang semaksimal mungkin di jalan masing-masing. Mungkin jalan kita berbeda, tapi gw berharap tujuan kita sama. Mudah-mudahan kita ketemu di tempat yg enggak ada lagi perpisahan, dikumpulkan bersama orang-orang yang saling mencintai dan dicintai Allah. Semoga nanti kita bisa saling menyapa di pintu surga-Nya"

Ya, seperti itulah kiranya. Adakalanya saat-saat bersama kita harus berakhir. Ada waktunya masing-masing dari kita mengambil jalannya tersendiri. Namun, berpisah bukan berarti berakhir segalanya. Berpisahnya kita adalah untuk bertemu kembali, Insya Allah di Syurga-Nya. Akan tetapi, untuk menuju ke arah sana, kita harus ada peningkatan. Ya! Peningkatan yang terus meningkat. Seperti hijrahnya Rasul untuk menghimpun kekuatan, keistiqomahan dan ketercerahan. Seperti Abubakar yang menahan tangis karena gigitan ular untuk sekedar tidak ingin memanggu tidurnya Rasulullah. Seperti kesungguhan Umar yang rela menginfakkan seluruh perniagaannya di jalan Allah lantaran perniagaan tersebut telah melalaikannya dari sholat berjamaah awal waktu.

Demikian pun adanya saya. Setidaknya ada sedikit kisah yang ingin dibagi di tempat yang baru ini. Bukan bermaksud riya', tapi sekedar ingin memotivasi diri dan rekan semua. Agar dapat membuka mata, telinga dan hati, bahwasanya ladang dakwah ini begitu luas dan beraneka ragam. Kadang kita harus berjalan menyusuri pemandangan yang indah. Ssehingga sesekali kita ingin menikmatinya. sambil singgah sebentar memandang keindahannya. Tapi bukan itu tujuan kita. Kita pun harus 'terpaksa' menyusuri lembah, menapaki bukit. Tidak sedikit onak duri menghadang, binatang buas mengintai sambil sesekali mengeluarkan suaranya yang menyeramkan. Namun sekali lagi, bukan itulah tempat tinggal kita. Kita harus melanjutkan perjalanan untuk menuju tujuan satu kita. 

DU sini, di tempat saya tinggal sekarang ini. Kalau di sana, rekan-rekan dengan mudahnya bertemu dengan sesama kader dakwah, di sini hanya dapat dihitung dengan jari. Walaupun masjid-masjid banyak berdiri dengan megah, namun kosong melompong. Hanya beberapa orang saja yang sadar untuk mengisi shaf-shaf di setiap sholat fardhu. Tak jarang, imam rawatibnya tidak datang, sehingga saya pun sering kali diminta untuk maju mengimami sholat. Padahal kalau difikir, hanya bermodal baju koko, kain sarung lengkap dengan peci ala munsyid-munsyid yang sekarang lebih mirip boyband. 

Suatu waktu pun, saya diminta untuk memimpin tahlil dan Yassin di suatu rumah karena beberapa pekan yang lalu ada anak dari si tuan rumah yang meninggal dunia. Padahal ketika di Jakarta dulu, saya paling anti datang ke 'majlis' tahlil orang meninggal. Akan tetapi, bagaimana lagi? Inilah tantangan dakwah. Ya! bukan sekedar dakwah sekolah yang rata-rata orang yang kita bina jauh di bawah kita sehingga tidak sulit untuk membimbing mereka mengikuti mentoring atau pun kajian keislaman. Bukan pula sekedar dakwah kampus yang penuh dengan perang intelektualitas dan ideologi. Orang yang kita dakwahi pun rata-rata sepantaran dengan kita sehingga (sekali lagi) dengan mudahnya dakwah kita dapat masuk dan dicerna oleh mereka.

Tapi, inilah dakwah kampung yang penuh dengan tantangan. Bahwa predikat dan pengalaman kita (yang telah mengajarkan kita sedikit ilmu dakwah) harus dan wajib untuk diamalkan. Adakalanya sesuatu yang tidak  boleh kita lakukan maka harus kita lakukan. Karena itulah yang mereka inginkan.Kita yang sering dianggap 'anak kemaren sore' memiliki kewajiban yang sama seperti kewajiban kita terhadap dakwah sekolah/kampus. Terlebih ketika para juru-juru dakwahnya sangat langka. Inilah beban dakwah kita, terlebih saya yang menyandang nama 'Islam' dalam gelar kesarjanaan. Dan hingga sampai saat ini, saya sedang mencoba melakukan pendekatan-pendekatan agar dakwah yang sebenarnya dapat diterima di lingkungan sekitar. Dan semoga saudara-saudara saya di Jakarta atau di manapun, juga senantiasa istiqomah melakukan penetrasi dakwah dengan langkah dan strategi terbaik. Khususnya IAR 49...

bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang mau berpendapat?