29 Agustus 2012

Mengapa Reformasi Birokrasi Berjalan Lambat?


Oleh: Imam Alfie

Sejak 2005, pemerintah telah menyuarakan program reformasi birokrasi. Pada tahun 2006-2007, dimulai di Departemen X (sekarang Kementerian X), sejumlah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dimulai. Dari penerapan key performance indicators, perubahan tatalaksana pelayanan (perpajakan dan perbendaharaan), pemetaan potensi pegawai, hingga perbaikan kesejahteraan pegawai melalui pemberian tunjangan kinerja. Gerakan yang dimulai Kementerian X secara instansional ini kemudian diadaptasi ke kebijakan nasional pada tahun 2008 dengan terbitnya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor Per/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi.

Menyebut reformasi birokrasi sebagai inisiatif Kementerian X tentu salah besar. Upaya reformasi birokrasi telah dimulai dari sejumlah pemerintah daerah, seperti Jembrana, Solok, Tanah Datar, Sragen, Kota Yogyakarta, atau Kota Tarakan. Upaya ini telah dimulai sejak awal dekade 2000-an dan karena menjadi semakin masif, maka perlu dijadikan kebijakan nasional. Untuk itulah pada tahun 2010 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Perihal kedua kebijakan ini dilihat dari perspektif lain, saya punya opini dan akan saya tuliskan di artikel selanjutnya.
1346139843523165273
Birokrasi Pemerintah yang Digambarkan Rakus
Kedua kebijakan tersebut pada prinsipnya menyempurnakan Permenpan Nomor Per/15/M.PAN/7/2008, namun demikian, sejak kebijakan itu diterbitkan, saya sudah berpendapat bahwa reformasi birokrasi akan sangat sulit untuk diwujudkan. Terbukti, hingga saat ini keluhan masyarakat dalam interaksi dengan pemerintah masih sangat banyak. Pungutan liar yang dilakukan dengan isyarat atau terang-terangan masih sering terjadi, baik pada urusan kependudukan, pertanahan, maupun yang terkait dengan perizinan usaha. Ini terjadi pada berbagai tingkatan pemerintahan, dari RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga instansi pemerintah pusat. Bahkan, hal demikian juga masih terjadi pada sejumlah unit pada instansi pemerintah yang dikatakan telah melakukan “reformasi birokrasi” (yang ditandai dengan pemberian tunjangan kinerja).

Dalam pemikiran sistem (systems thinking), suatu kejadian terjadi akibat adanya interaksi antarvariabel yang membentuk suatu sistem. Kejadian yang merupakan masalah akan dapat dipecahkan apabila variabel yang menjadi pengungkit (leverage) dapat diidentifikasi dan diberi perlakuan khusus. Pemecahan masalah dalam pemikiran sistem bukan dengan membagi masalah besar ke dalam masalah-masalah kecil dan memecahkan masing-masing masalah kecil tersebut, tetapi menemukan dan memanfaatkan pengungkit masalah besar.

Berpijak pada cara berpikir tersebut, saya berpendapat bahwa penetapan 8 (delapan) area perubahan dalam reformasi birokrasi adalah upaya yang tidak efisien. Saya tidak bilang itu sia-sia, tetapi mungkin saja demikian apabila pengungkit dari masalah birokrasi tidak segera ditemukan dan diperlakukan secara khusus.

Pengungkit dari masalah dalam birokrasi pemerintahan kita ada pada 3 (tiga) hal, yaitu sistem anggaran dan perbendaharaan, sistem remunerasi pegawai, dan sistem manajemen kinerja aparatur. Dua dari tiga sistem tersebut sebenarnya telah disinggung dalam Road Map Reformasi Birokrasi, yaitu sistem remunerasi pegawai yang merupakan bagian dari penataan sistem manajemen SDM aparatur dan sistem manajemen kinerja aparatur yang merupakan bagian dari penguatan akuntabilitas kinerja aparatur. Akan tetapi, penetapan tujuan dan rencana implementasi dari perubahan kedua sistem tersebut tidak terdefinisikan dengan baik. Sementara itu, untuk sistem anggaran dan perbendaharaan bahkan tidak tersentuh.

Penataan Sistem Anggaran dan Perbendaharaan
Sistem anggaran dan perbendaharaan merupakan sistem yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perbaikan pada kedua sistem ini bersifat sangat mendasar dan akan memengaruhi bagaimana pemerintahan dijalankan. Sejumlah bentuk pelanggaran yang seringkali dilakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan sebenarnya tidak lepas dari ketidakberesan sistem anggaran dan perbendaharaan.

Sistem (perencanaan) anggaran seharusnya terintegrasi dengan sistem perencanaan program dan kegiatan, yang dikoordinasi pelaksanaannya secara nasional oleh Kementerian Y. Sistem anggaran hingga saat ini dikuasai oleh Kementerian X melalui Eselon I Anggaran. Koordinasi yang lemah antara kedua instansi menjadikan perencanaan anggaran dan perencanaan program/kegiatan tidak terkoneksi dengan baik.

Manajemen kinerja yang mulai diterapkan sejak pembangunan jangka menengah tahun 2004-2009 dan diperbaiki pada periode 2009-2014 ini sebenarnya sudah mengarahkan pemerintah pada penerapan key performance indicators (diterjemahkan sebagai indikator kinerja utama/IKU) dan anggaran berbasis kinerja. Bagaimanapun, hingga saat ini masih sering ditemui instansi pemerintah yang gagal dalam menetapkan IKU yang tepat. Di sisi lain, kebijakan anggaran berbasis kinerja juga belum sepenuhnya diterapkan. Pada prinsipnya, pencapaian IKU instansi yang dikombinasikan dengan pemanfaatan sumber daya secara efisien dan prioritasi IKU nasional seharusnya menjadi dasar dalam pemberian anggaran kepada masing-masing instansi. Akan tetapi, hingga kini pemberian anggaran tahun selanjutnya seakan-akan hanya berdasarkan nilai anggaran tahun ini dan ditambahkan beberapa persen. Ini artinya belum ada hubungan yang terdefinisikan dengan baik antara IKU dan anggaran. Belum lagi jika memperhitungkan soal efisiensi.

Tidak jarang pula ditemui permasalahan kecil namun dapat menjadi signifikan dalam penyelenggaraan pemerintah. Sebagai amanat dari UU Nomor 17 Tahun 2003, Kementerian X menciptakan sejumlah aplikasi data keuangan, salah satunya dalam bidang perencanaan anggaran. Di sisi lain, Kementerian Y dengan berbekal amanat dari UU Nomor 25 Tahun 2004 dan PP Nomor 39 Tahun 2006 juga membangun aplikasi pemantauan dan evaluasi kegiatan. Kedua aplikasi tersebut berpijak pada IKU dari masing-masing instansi, namun akibat terlalu sederhananya aplikasi yang dibangun dan lemahnya koordinasi kedua instansi pembina, IKU yang terdapat pada kedua aplikasi seringkali berbeda. Ditambah dengan masih lemahnya pemahaman instansi terhadap IKU, masalah ini menjadikan kerancuan dalam pelaksanaan kegiatan.

Salah satu solusi radikal yang mungkin dapat diambil adalah dengan mengintegrasikan kewenangan penganggaran nasional dan kewenangan perencanaan program nasional dalam satu instansi. Ini akan membuat kebutuhan atas koordinasi antara Kementerian Y dan Eselon I Anggaran menjadi sangat minim. Mempertimbangkan kewenangan yang sangat luas dari Kementerian X dan sebaliknya kewenangan yang relatif minim dari Kementerian Y, mungkin sebaiknya fungsi Eselon I Anggaran dilebur ke dalam Kementerian Y.

Solusi tersebut juga akan berdampak domino, karena ini akan memisahkan fungsi penganggaran dan fungsi perbendaharaan terletak pada satu tangan. Di Australia, fungsi penganggaran dilakukan oleh Department of Finance and Deregulation (DoFD) sementara fungsi perbendaharaan dilakukan oleh Department of the Treasury (DoT). Penyatuan kedua fungsi pada satu lembaga mungkin membuat pertukaran informasi menjadi lebih mudah, namun potensial digunakan untuk penyalahgunaan wewenang (detournement du pouvoir). Pemisahan pelaksana kedua fungsi tersebut akan mengurangi potensi itu. Adapun persoalan pertukaran informasi dapat ditangani dengan pembangunan sistem informasi manajemen kinerja yang komprehensif.

Dalam penataan ini, sistem anggaran dan perbendaharaan juga harus dibuat agar lebih fleksibel, karena seringkali pelaksanaannya yang terlalu kaku (misalnya dalam hal revisi anggaran atau laporan pelaksanaan kegiatan) menyebabkan instansi terpaksa melakukan tindakan yang tercela. Praktik “pinjam nama” atau PN adalah salah satu contohnya. PN adalah praktik penggunaan nama orang yang tidak secara nyata terlibat dalam suatu kegiatan. Praktik ini sangat sering terjadi di pemerintahan.

Sebagai informasi tambahan, dalam analisis saya terdapat tiga kategori PN berdasarkan alasan dilakukannya. PN kategori pertama adalah PN yang dilakukan untuk menambah uang kas unit/satuan kerja. PN kategori kedua adalah PN yang dilakukan untuk menyesuaikan antara detil rencana kegiatan dengan realisasinya. Seringkali sebuah rapat/diskusi direncanakan untuk dihadiri 15 orang, namun karena suatu alasan mendadak ternyata hanya 12 orang yang dapat hadir. Namun karena pemesanan paket sudah diperuntukkan 15 orang, maka unit/satuan kerja seringkali harus menambahkan 3 orang yang seakan-akan hadir pada rapat/diskusi tersebut. Sementara itu, PN kategori tiga adalah PN yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan pelaksananya. Penataan sistem anggaran dan perbendaharaan akan mengurangi potensi PN kategori pertama dan kedua yang selama ini dianggap kelaziman. Dengan demikian, apabila di kemudian hari ditemukan praktik PN, besar kemungkinan itu adalah kategori ketiga alias untuk memperkaya diri.

Bagaimanapun, penataan ini akan membutuhkan upaya yang sangat serius karena akan berhadapan dengan kekuatan historis dan kultural di Kementerian X yang selama ini menjadi penanggung jawab sistem tersebut. Akan tetapi, apabila penataan dilakukan dengan baik, potensi penyelewengan uang negara akan semakin rendah, sehingga uang yang ada dapat dialokasikan untuk pembangunan atau peningkatan kesejahteraan pegawai secara legal.

Penataan Sistem Remunerasi Pegawai
Penataan sistem remunerasi pegawai adalah variabel yang juga penting dalam reformasi birokrasi. Sayangnya, pelaksanaan reformasi birokrasi selama ini belum menyentuh dimensi yang paling substansial dari sistem remunerasi pegawai. Pemberian tunjangan kinerja sejauh ini belum sesuai dengan filosofi yang mendasarinya. Pemberian tunjangan kinerja sebagai penanda sebuah instansi telah melakukan reformasi birokrasi dalam pandangan saya adalah sebuah kebijakan yang baik. Tunjangan (berbasis) kinerja bukan hanya mengubah paradigma remunerasi selama ini, tetapi juga akan mendorong pegawai untuk bekerja sebaik mungkin agar tingkat kesejahteraannya tidak berkurang dan jika dimungkinkan justru meningkat. Akan tetapi, kebijakan ini tidak diiringi dengan kesungguhan untuk melaksanakannya sepenuh hati.

Ada beberapa indikasi yang mendorong saya menyatakan demikian. Namun sebelumnya, sebagai pembangunan kesepahaman, perlu saya sampaikan informasi dasar tentang tunjangan kinerja. Pemberian tunjangan kinerja dapat dilakukan kepada instansi (hingga saat ini adalah kementerian/lembaga alias K/L) yang telah menyusunRoad Map Reformasi Birokrasi Internalnya. Road map ini kemudian akan diverifikasi oleh Kementerian PAN dan RB. Pada waktu yang sama, masing-masing instansi juga harus melakukan evaluasi jabatan (job evaluation), yaitu penyusunan nilai jabatan dan kelas jabatan. Nilai jabatan dan kelas jabatan ini diperoleh dari perhitungan atas faktor jabatan, yaitu bobot dari sebuah jabatan. Berdasarkan nilai jabatan, dapat disusunlah kelas jabatan. Posisi sebuah jabatan pada kelas jabatan inilah yang akan menentukan nilai tunjangan kinerja yang diterimanya. Selain itu, secara instansi, nilai tunjangan kinerja juga ditentukan oleh posisi kesiapan/prestasi instansi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi dan sumber daya keuangan yang dimiliki.

Terkait indikasi yang mendorong saya menyatakan bahwa pemberian tunjangan kinerja belum dilakukan secara sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem remunerasi, saya menemukan setidaknya 4 jenis indikasi. Pertama, dalam proses penyusunan kelas jabatan, kecenderungan yang terjadi adalah penaikan nilai jabatan di atas kewajaran agar kelas jabatan tersebut turut meningkat. Kedua, instansi yang bertugas membina instansi lain dalam melakukan evaluasi jabatan terkadang memanfaatkan pembinaan untuk memperoleh honorarium lebih sebagai narasumber, sehingga menurunkan kepercayaan instansi lain dalam menyusun evaluasi jabatan. Ketiga, instansi yang telah menerima tunjangan kinerja ternyata tidak benar-benar menghilangkan unsur honorarium proyek (honor tim) yang biasa diterima pegawainya, sehingga tujuan perubahan paradigma remunerasi dan pola pikir untuk bekerja lebih baik menjadi tidak tercapai. Keempat, tunjangan yang diberikan tidak benar-benar berbasis kinerja. Sebagian besar instansi justru belum mendasarkan pemberian tunjangan kepada kinerja, tetapi masih pada presensi pegawai.

Selain keempat indikasi tersebut, pemberian tunjangan kinerja dengan cara yang dilakukan saat ini juga belum menyelesaikan persoalan payungnya, yaitu remunerasi. Remunerasi adalah keseluruhan nilai yang diterima pegawai dari upaya kesejahteraannya. Termasuk dalam remunerasi adalah gaji, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, uang makan, tunjangan kemahalan, asuransi, dan pensiun.

Penataan sistem remunerasi menyangkut dua dimensi utama, struktur dan besaran. Saat ini, kombinasi kedua dimensi tersebut belum mampu mendorong peningkatan kinerja pegawai dan organisasi. Rendahnya gaji pegawai (golongan Ia menerima Rp 1.260.000 per bulan sementara golongan IVe menerima Rp 4.603.700) membuat upaya-upaya mencari tambahan penghasilan menjadi jamak dilakukan. Mulai dari pemberian honor-honor proyek, peningkatan frekuensi rapat di luar kantor dan perjalanan dinas (untuk memperoleh uang sidang dan transport), dan pencarian kegiatan yang mendatangkan honorarium seperti menjadi narasumber. Pada akhirnya, nilai gaji tersebut tidak mencerminkan nilai keseluruhan remunerasi (take home pay) seorang PNS. Nilai tersebut bisa mencapai 5 kali lipat dari gaji pokoknya.
Dibutuhkan penataan sistem remunerasi yang juga konsisten, yaitu dengan meniadakan honor-honor proyek, honorarium narasumber, dan uang sidang untuk rapat di luar kantor. Nantinya, nilai anggaran yang dihilangkan ini dapat disubstitusi ke dalam peningkatan gaji pegawai dan/atau tunjangan kinerjanya.

Selama ini, alasan yang diberikan oleh pengelola keuangan negara adalah penaikan gaji pokok akan berakibat pada kenaikan biaya pensiun. Dengan perdebatan yang kini berjalan perihal pensiun PNS, menurut saya solusinya dapat menjadi sangat sederhana apabila tidak ada kepentingan tertentu selain perbaikan manajemen pemerintahan dan penyelamatan anggaran negara.

Komitmen untuk memperbaiki sistem ini yang belum terlihat. Contoh sederhana dapat terlihat pada terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Standar Biaya Umum Tahun 2013 (biasa disebut SBU 2013). Dalam SBU 2013, diperkenalkan detil anggaran baru bernama uang saku rapat di dalam kantor. Nilainya adalah Rp 250.000 per rapat. Detil ini tidak dikenal dalam SBU 2012. Pada bagian penjelasan, disebutkan bahwa detil ini dapat dibayarkan apabila rapat melibatkan eselon I lainnya, dilaksanakan minimal 4 jam di luar jam kerja, tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur, dan dilengkapi dengan surat undangan yang ditandatangani pejabat eselon II, surat tugas bagi peserta penyelenggara, dan surat pernyataan pelaksanaan kegiatan. Seluruh persyaratan tersebut dapat dimanipulasi oleh penyelenggara kegiatan, sehingga keberadaan detil ini akan mudah dimanfaatkan untuk menambah penghasilan dengan cara yang ilegal. Justifikasi yang mungkin lahir adalah detil ini diperkenalkan untuk mengurangi kebiasaan rapat di luar kantor. Akan tetapi, ini menjadi tidak relevan jika melihat bahwa nilai uang saku rapat di luar kantor justru meningkat dibandingkan tahun 2012.

Penataan Sistem Manajemen Kinerja
Sistem manajemen kinerja sebenarnya secara bertahap telah dilaksanakan. RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2009-2014 telah memperkenalkan IKU, sehingga semua kegiatan yang dilaksanakan pemerintah berbasis kepada pencapaian kinerja. Patut diakui bahwa dengan sistem yang baru ini, wajar apabila masih banyak instansi pemerintah yang belum mampu menyusun indikator kinerjanya dengan baik. Akan tetapi, reformasi birokrasi harus dilakukan dengan mendorong penerapan manajemen kinerja yang lebih komprehensif. Jika selama ini baru “berkenalan” dengan perencanaan kinerja, ke depannya perlu dibangun sistem pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja (Cardy: 2004). Jika selama ini baru menerapkan manajemen kinerja organisasi, maka ke depannya perlu menerapkan manajemen kinerja unit kerja, individu, dan pentautan manajemen kinerja antara tingkat-tingkat tersebut.

Dalam suatu kesempatan diskusi dengan seorang pakar administrasi publik dari Korea, saya mendapati informasi bahwa kunci keberhasilan reformasi SDM aparatur di Korea adalah penerapan manajemen kinerja yang komprehensif dan tegas. Di kesempatan lain berdiskusi dengan pejabat dari instansi penyelenggara pendidikan dan pelatihan SDM aparatur Singapura, saya juga memperoleh informasi yang serupa bahwa di Singapura, kunci keberhasilan reformasi adalah pada perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai dan manajemen kinerja yang diterapkan dengan disiplin.

Penerapan manajemen kinerja yang komprehensif memang membutuhkan disiplin dan ketegasan, karena evaluasi kinerja yang baik adalah evaluasi kinerja yang ditindaklanjuti dengan kebijakan yang mampu mendorong pencapaian kinerja yang lebih baik. Di Singapura, pegawai yang tidak mampu menunjukkan kinerja yang baik dapat diberhentikan status kepegawaiannya. Di Australia, meskipun lebih kompleks, namun manajemen kinerja sudah sampai pada tingkat individu dan pegawai yang berkinerja buruk selama beberapa periode akan dapat diberhentikan. Memang, tindak lanjut evaluasi kinerja tidak semata-mata berupa hukuman. Tindak lanjut atas kinerja yang baik juga harus dipersiapkan, yaitu berupa penghargaan baik finansial maupun non-finansial. Dalam sistem yang berjalan saat ini, penghargaan seperti itu belum dapat diberlakukan. Inilah yang juga harus dikembangkan agar pegawai semakin terpacu untuk meningkatkan kompetensi dan berani berkompetisi dengan sportif.
13461400431421903115
Birokrasi yang Gemuk Butuh Manajemen Kinerja
Kendala untuk menerapkan manajemen kinerja yang komprehensif saat ini adalah masih rendahnya pemahaman aparatur dalam konsep dan praktik manajemen kinerja. Kecenderungan yang muncul adalah penetapan target kinerja yang pesimis dari instansi pemerintah dan unit kerjanya. Prinsip indikator kinerja yang SMART (specific-measurable-attainable-realistic-timeliness) dan berorientasi hasil (outcomes) justru diterjemahkan dengan menurunkan target kinerja agar dapat tercapai dengan mudah. Padahal, manajemen kinerja yang baik juga akan mempertimbangkan kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan sumber daya yang dimiliki.

Penerapan manajemen kinerja yang komprehensif dan disiplin juga akan menemui hambatan pada budaya “solidaritas” PNS. Ketidaktegaan untuk memberikan sanksi akan menjadikan manajemen kinerja upaya yang sia-sia. Perlu ada pembangunan budaya kompetisi dan sportivitas dalam mengembangkan manajemen kinerja.

Epilog
Tanpa adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk membenahi ketiga aspek tersebut, harus diakui bahwa jalan reformasi birokrasi untuk menciptakan aparatur negara yang bersih, kompeten, dan melayani akan sangat panjang, berliku, licin, dan terjal. Bagaimanapun, mengingat beratnya tantangan untuk menata aspek-aspek tersebut, upaya pemerintah menetapkan 8 area perubahan tetap perlu diapresiasi. Lebih baik berbuat daripada tidak sama sekali. Mungkin jika pemerintah memang tidak sanggup melakukan penataan pada ketiga aspek tersebut, dukungan publik secara konkret akan dapat mendorongnya, karena pada dasarnya pemerintah bekerja atas dasar mandat rakyat. Bukan pergantian kepala pemerintahan yang menentukan, melainkan komitmen para kepala tersebut dan dukungan rakyat di belakangnya yang dapat mewujudkan reformasi birokrasi. Jika tidak demikian, maka relakanlah pajak dan retribusi pembaca sekalian untuk membiayai pemerintahan yang tidak efisien dan dinikmati orang-orang yang tidak berhak.
Untuk Indonesia yang lebih baik.

1 komentar:

Ada yang mau berpendapat?