Tak heran bila para politisi rela menebar miliaran rupiah saat Pemilu
tiba untuk bisa melenggang ke Senayan. Menjadi anggota Dewan memang
enak. Tidak hanya statusnya terhormat, tetapi fasilitas yang diterima
pun serba mewah.
Sidang paripurna penutupan masa sidang IV 2009-2010, Jumat (30/7), nampak lengang. Pembukaan sidang pun terpaksa agak molor karena menunggu kuorum. Ketika sidang dibuka Ketua DPR, Marzuki Alie, pun jumlah yang hadir cuma 302 orang dari 560 anggota DPR RI.
Sidang paripurna penutupan masa sidang IV 2009-2010, Jumat (30/7), nampak lengang. Pembukaan sidang pun terpaksa agak molor karena menunggu kuorum. Ketika sidang dibuka Ketua DPR, Marzuki Alie, pun jumlah yang hadir cuma 302 orang dari 560 anggota DPR RI.
Kabarnya, ’sepinya’ sidang saat itu karena para anggota Dewan terlalu
antusias menyambut reses. Keeseokan harinya, Dewan memang memasuki masa
reses. Bagi kalangan Dewan, reses merupakan masa menyenangkan. Mereka
tidak hanya bisa pelesiran, tetapi juga dibekali uang saku yang tak
kecil nilainya. Menurut data Forum Indonesia Transparansi Anggaran
(FITRA), anggaran reses DPR untuk 2010 saja sebesar Rp 404 miliar.
Mengacu ketentuan, dana itu seharusnya digunakan untuk komunikasi
intensif penyerapan aspirasi sebesar Rp 230 miliar; kunjungan kerja
reses 4 kali setahun Rp125 miliar; kunjungan kerja sesuai tatib 4 kali
setahun sebesar Rp 33 miliar.
Jadi, kalau 230 miliar dibagi 560
anggota DPR, maka setiap anggota DPR akan menerima uang komunikasi
intensif sebesar Rp 412 juta perorang per tahun. Dan kalau ada 4 kali
reses ke dapil masing-masing, maka anggota DPR akan menerima uang
komunikasi setiap reses adalah sebanyak Rp 103 juta perorang. Padahal
anggota DPR telah menerima uang komunikasi intensif juga untuk setiap
bulan sebesar Rp 94 milyar. Jadi, setiap bulan, untuk satu anggota DPR
menerima uang komunikasi intensip sebesar Rp 14 juta perbulan, dan Rp168
juta pertahun untuk satu anggota DPR.
Ironisnya, dana miliaran rupiah yang seharusnya untuk rakyat itu kerap kali masuk kantong pribadi. Dan kalaupun ada sebagian yang sampai ke rakyat, jumlahnya juga tidak bisa dipastikan. Maklum, mekanisme control atas penggunaan semua jenis anggaran itu sangat longgar. “Notabene dana itu memang masuk kantong pribadi,” kata Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi, di Jakarta, pekan lalu.
Ironisnya, dana miliaran rupiah yang seharusnya untuk rakyat itu kerap kali masuk kantong pribadi. Dan kalaupun ada sebagian yang sampai ke rakyat, jumlahnya juga tidak bisa dipastikan. Maklum, mekanisme control atas penggunaan semua jenis anggaran itu sangat longgar. “Notabene dana itu memang masuk kantong pribadi,” kata Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Khadafi, di Jakarta, pekan lalu.
Toh dengan miliaran rupiah
itu juga anggota Dewan belum merasa cukup. Beberapa waktu lalu sempat
heboh dengan usulan dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar per anggota
Dewan. Dan pekan lalu, Dewan ternyata sudah menyepakati Rumah Aspirasi
yang anggarannya juga tidak kecil, Rp 200 juta per anggota Dewan. "Pagu
anggaran untuk rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota, totalnya sekitar
Rp 122 miliar. Itu sudah disahkan dalam anggaran DPR 2011 yang totalnya
Rp 3,3 Triliun termasuk anggaran rumah aspirasi tersebut," ujar Wakil
Ketua BURT DPR Pius Lustrilanang di Jakarta, Senin (2/8).
Ide Rumah
Aspirasi, menurut Pius, merupakan realisasi studi banding anggota DPR
ke luar negeri. Anggota DPR meyakini rumah aspirasi mampu merekatkan
hubungan antar wakil rakyat dengan konstituennya. "Pertama, itu adalah
kantor pengaduan. Sebagai rumah aspirasi, siapapun warga masyarakat bisa
datang ke situ. Rumah aspirasi juga menjadi tempat pertemuan antara
anggota DPR dengan pemerintah daerah tempat setempat. Dengan demikian
pemda bisa menyampaikan keluhannya langsung ke pusat," terang politisi
Partai Gerindra ini.
Kini, gagasan baru Dewan ini mengundang pro-kontra, baik di internal DPR maupun eksternal. Apalagi saat ini Dewan tengah menjadi sorotan publik. Menurut Wasekjen DPP Partai Demokrat, Saan Mustofa, rumah aspirasi memang seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing anggota Dewan, bukannya dibebankan pada negara. “Cukup menggunakan uang pribadi saja," katanya di Jakarta, Senin (2/8).
Kini, gagasan baru Dewan ini mengundang pro-kontra, baik di internal DPR maupun eksternal. Apalagi saat ini Dewan tengah menjadi sorotan publik. Menurut Wasekjen DPP Partai Demokrat, Saan Mustofa, rumah aspirasi memang seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing anggota Dewan, bukannya dibebankan pada negara. “Cukup menggunakan uang pribadi saja," katanya di Jakarta, Senin (2/8).
Pun demikian halnya dengan Sekjen PDIP, Tjahjo Kumolo,
menganggap usulan itu sebagai cerminan bahwa anggota Dewan sudah menjadi
individualis. Padahal, menurutnya, rumah aspirasi bisa diadakan secara
gotong royong sesuai sifat bangsa Indonesia. "Kalau saya pribadi
melihat, tidak terlalu perlu adanya rumah aspirasi. Saya pribadi
menganggap, networking partai di daerah itu bisa menyalurkan apa yang
menjadi aspirasi rakyat," sambung Wakil Ketua DPr dari FPDIP, Pramono
Anung, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (2/8).
Namun, toh usulan rumah aspirasi itu kabarnya sudah disetujui. Kalaupun kini ada anggota Dewan yang menolak, bisa saja itu hanyalah untuk pencitraan di mata publik. Menurut Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, DPR kali ini lebih sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak lagi mempedulikan rakyat. "Saya curiga anggota DPR sengaja mengejar dana aspirasi dan rumah aspirasi agar terpilih kembali pada pemilu 2014," terang Salang di Jakarta, Senin (2/8).
Namun, toh usulan rumah aspirasi itu kabarnya sudah disetujui. Kalaupun kini ada anggota Dewan yang menolak, bisa saja itu hanyalah untuk pencitraan di mata publik. Menurut Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, DPR kali ini lebih sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak lagi mempedulikan rakyat. "Saya curiga anggota DPR sengaja mengejar dana aspirasi dan rumah aspirasi agar terpilih kembali pada pemilu 2014," terang Salang di Jakarta, Senin (2/8).
Hal ini
tentu sangat memprihatinkan. Pasalnya sebagai pejabat negara, anggota
Dewan sudah menerima penghasilan dan fasilitas yang lebih dari cukup.
Sekitar Rp 750 juta gaji resmi anggota Dewan per tahun, menurut Direktur
Indonesia Parliamentary Center (IPC), Sulistyo, sudah lebih dari cukup.
Belum lagi dengan uang-uang ‘resmi’ lainnya yang jumlah totalnya per
tahun penghasilan seorang anggota Dewan bisa mencapai Rp 900 juta hingga
Rp 1 miliar setahun. Nilai penghasilan itu, menurutnya, sama sekali tak
sebanding dengan kerja yang diperlihatkan DPR selama ini. “Dari sisi
profesional, pendapatan mereka sebenarnya sudah sangat besar,” ujarnya.
Ironisnya, para anggota Dewan yang terbiasa kemewahan itu menganggapnya
kecil. Politisi Partai Golkar, Tantowi Yahya, misalnya, menganggap
gajinya saat ini sama dengan honor yang diterimanya sekali tampil
sebagai Master of Ceremony (MC). Begitu pun dengan mereka yang
berlatarbelakang pengusaha, gaji sebesar itu mungkin hanya sepersekian
penghasilannya sebelum duduk di Senayan.
Tetapi apakah pantas bila kemudian itu dijadikan alasan untuk bermalas-malasan? Bukankah mereka sudah tahu berapa gaji yang akan mereka terima sebelum mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.
Tetapi apakah pantas bila kemudian itu dijadikan alasan untuk bermalas-malasan? Bukankah mereka sudah tahu berapa gaji yang akan mereka terima sebelum mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada yang mau berpendapat?